Langsung ke konten utama

Cerita Pendakian: Muncak ke Gunung Pesagi ~Part 1

Greetings, wankawan Jejak-Jejak Bintang~ 

Kali ini aku mau cerita pengalamanku mendaki gunung tertinggi di Lampung hingga ke puncak. Aku mendaki di bulan Juli 2018, waktu libur akhir semester kelas 11. Waktu itu aku ditawari naik Pesagi oleh ayahku. Aku pun mengangguk cepat-cepat, secara diriku memang ngambis mau menaklukkan semua gunung di Lampung sebelum kuliah, ahah.

Pendek kata, habis menetapkan hari dan mempersiapkan peralatan, kami pun berangkat ke Liwa, Lampung Barat tanggal 11 Juli. Perjalanan dari Lampung Timur memakan waktu sekitar 6-8 jam. Lampung Barat adalah kabupaten pegunungan. Dalam perjalanan ke Liwa, kalian akan disuguhi pemandangan pemukiman dengan rumah tradisional Nuwou Sessat bernuansa adat khas Lampung di sepanjang jalan, serta tebing-tebing tinggi rawan longsor sepanjang jalan yang lain.

Kami bangun pagi untuk siap-siap. Sebelum berangkat ke kaki Pesagi, kami sempat keliling kota Liwa, salah satunya ke Taman Hamtebiu yang terkenal dengan patung Sekura setinggi 8 meternya. Patung ikonik kota Liwa ini mengenakan topeng Sekura khas Lampung dan memegang pedang. Di dasar patung ada plakat piagam Rekor MURI yang didapat Lampung Barat untuk arak-arakan menggunakan topeng sekura terbesar di Indonesia.



 Tamannya juga lumayan instagrammable loh gaes.

Tapi akunya nggak

Pendakian kami ke Pesagi ditemani tiga pemuda Taruna kota Liwa. Aku cuma inget nama satu kakaknya, Kiyay Riza. Sisanya sebut saja Kiyay Agus dan Bambang. Mereka bertiga anak Taruna Siaga Bencana yang diajak untuk jadi guide sekaligus partner naik Pesagi. Setelah belanja logistik, kami turun di desa paling dekat dari kaki gunung.

Kami mulai naik lewat kebun-kebun kopi penduduk. Dari titik start di desa ke basecamp Pesagi paling awal memakan waktu 2-3 jam. Basecamp 1 ada di area kebun kopi warga dan berupa gubuk singgah plus lapangan kecil yang bisa dipakai buat kemping. Tidak jauh dari basecamp adalah gerbang hutan yang jadi pembatas antara kebun kopi dan hutan Pesagi. Gerbang hutan itu berupa pokok pohon besar yang masih menjulang tegak walaupun pohonnya sudah mati. Pokok kayu itu dijadikan penanda masuk ke area hutan Gunung Pesagi. 


Lima pendaki gembel

Jam 3 tepat kita sampai di gubuk yang disebut tadi. Kami langsung istirahat ashar, baru nanti dilanjut lagi. Nah, dari sini masalah muncul. Sekitar jam 4 kurang, waktu kami udah siap-siap berangkat, langitnya mendung. Kalau hujan,otomatis isi tas carrier yang kami bawa terancam. Kiyay Agus nggak mau ambil resiko lanjut dengan kemungkinan hujan besar. Memaksa naik dengan mengorbankan baju di dalam carrier, hipotermia bisa menanti diatas. Akhirnya perjalanan mandek. Antara milih menunggu sampai mendung pergi, atau terpaksa pasang tenda di basecamp 1. Aku memaksa perjalanan lanjut. Perjalanan belum ada setengahnya dan kalau ngecamp disini, perjalanan bakal jadi lebih lama lagi. Lagipula, view di basecamp 1 jelek :p

Cuma, pilihan makin sulit waktu sejam berlalu dan gak ada tanda-tanda mendung pergi. Malah kelihatan kalau di daerah atas lagi turun hujan. Kami menunggu di gubuk sampai kelar istirahat, bengong, bikin indomie, tidur, senam, memetik kopi. Untungnya kami terselamatkan ide menelepon orang di bawah untuk membawakan plastik ke basecamp. Setelah menunggu lama, ksatria penunggang motor datang menyelamatkan kami dengan plastik sampah untuk dipakai jadi penutup carrier. Perjalanan pun dimulai lagi dari gerbang hutan!


Perjalanan malam & tiba di basecamp atas

Dari gerbang hutan ke basecamp atas makan waktu 3-4 jam. Perjalanan dimulai sekitar jam 17.15. Jadi ¾ perjalanan kita dihabiskan setelah maghrib. Awal-awal masuk hutan, belum ada masalah berarti selain serbuan pacet. Pacet, semacam lintah mungil berwarna hitam ini bisa memanjat naik dari sepatu, menelusup ke lipatan-lipatan baju, dan menghisap darah. Sekalinya menempel di kulit nggak akan lepas sampai dia kenyang. Gigitan pacet sama sekali gak berasa, beda kayak nyamuk.

Aku jadi ingat pendakianku pas di Gunung Betung. Waktu turun gunung, aku gak sadar ada pacet yang masuk ke punggung kaosku sampai kami tiba di kaki gunung. Waktu aku sadar, whuaaa... kaosku udah kayak kaos bekas korban penusukan senjata tajam. Pacet menghisap darah tuh benar-benar gak kerasa, tahu-tahu darah gak bisa berhenti mengalir aja dari bekas isapan si pacet.

Jam setengah tujuh, langit mulai gelap total. Berbekal senter dua buah dan HP satu, kami meneruskan perjalanan ke atas. Seperti perkiraan Kiyay Agus, di atas turun hujan. Walau nggak deras tapi cukup membuat kita menggigil. 

***

Jam sembilan-setengah sepuluhan, akhirnya kami sampai di basecamp atas. Tanpa buang waktu, kami segera memasang tenda dengan bantuan senter. Kemudian kami menyiapkan peralatan untuk memasak. Kiyay Agus turun mengambil air di sungai untuk memasak, aku dan sisanya menghidupkan api unggun. Di basecamp atas ini, kebetulan cuaca cerah sehingga langit bintang terlihat. Beda dengan langit di perkotaaan atau di dekat-dekat pemukiman, gak ada polusi cahaya disini, jadi cahaya bintang jelas dan jauh lebih terang. Keren banget. Sayangnya kamera yang kubawa gak cukup bagus buat memfoto, jadi aku gak punya tanda buktinya.

Kemudian, kita istirahat. perjalanan dilanjut besok dan cerita pun berlanjut ke part 2!!








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Komposisi Gambar Suasana Untuk Portofolio Seni: Studi Kasus Sketsa

Halo teman-teman! Kali ini aku mau berbagi sedikit ilmu membuat gambar suasana yang menarik lewat studi kasus kecil yang baru aku dapat kemarin. Gambar suasana adalah salah satu komponen wajib portofolio seni untuk mendaftar ke SNMPTN dan SBMPTN untuk jadi salah satu kriteria seleksi PTN. Mulai dari tahunku, SBMPTN bidang seni & olahraga cukup mewajibkan portofolio untuk dilampirkan bersama nilai tes tulis, berbeda dengan kebijakan SBMPTN tahun lalu yang mengharuskan peserta tes menggambar langsung di tempat ujian. Kemarin lusa, 24 Juni 2019, adalah hari terakhir pendaftaran SBMPTN untuk tahun ini. Salah satu temanku yang ingin masuk DKV waktu itu minta bantuanku untuk gambar suasana karena dia kena  artblock.  Iya, DKV itu juga pernah jadi impianku. Dulu aku rajin cari tips trik seputar porto, latihan gambar, bahkan UTBK pun aku murtad ke soshum karena berniat mau masuk FSRD itebeh. Tapi alhamdulillah takdir berkata lain dan aku malah dapat SNMPTN duluan ke Jogja. Da

Belajar Bahasa Isyarat!

Nggak gaes, aku nggak belajar bahasa isyarat karena habis nonton Koe no Katachi.  Ehem. Jadi, Februari kemarin aku mengikuti sebuah workshop bahasa isyarat di Jogja. Workshop kecil-kecilan ini diadakan oleh sebuah komunitas di Jogja yang juga memiliki concern seputar isu disabilitas. Kebetulan aku punya minat buat belajar bahasa isyarat, soalnya menarik aja gitu. Rasanya keren kalau aku bisa membantu penyandang disabilitas tunarungu dengan mencoba belajar bahasa mereka. Teman tuli ⁠— begitu cara kita menyebut orang penyandang tunarungu ⁠— memakai bahasa isyarat sebagai pengganti komunikasi verbal biasa. Umumnya para penyandang tunarungu bisa saling berkomunikasi isyarat cepat dengan tunarungu lainnya, tapi mayoritas orang dengan pendengaran normal (disebut teman dengar) tidak fasih atau bahkan tak tahu bahasa isyarat sama sekali. Oleh karena itu, amat berharga bagi teman dengar untuk bisa bahasa isyarat karena bisa mempermudah teman tuli berkomunikasi. Workshop ini diba

Resensi Buku If Only They Could Talk (Andai Mereka Bisa Bicara)

If Only They Could Talk adalah novel yang kuketahui lewat Laskar Pelangi, novel karya penulis favoritku Andrea Hirata. Aku mengenal buku karya James Herriot ini sebagai buku yang dihadiahkan A Ling ke Ikal dalam novelnya sebelum pergi ke Jakarta. Dikisahkan dalam Laskar Pelangi, dari novel Herriot inilah Ikal mengenal Edensor, sebuah desa di pedalaman Yorkshire, Inggris, yang nantinya akan menjadi memori pelipur laranya akan A Ling. Karena endorse yang begitu kuat dari Laskar Pelangi ini, aku pun akhirnya membeli buku ini di sh*pee tahun lalu. Berikut ialah resensi bukunya: Identitas Buku Source: Bukalapak Judul: If Only They Could Talk (Andai Mereka Bisa Bicara) Pengarang: James Herriot Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Penerjemah: Ny. Suwarni A.S. Tahun Terbit: 2016 (cetakan ketiga) Tebal halaman: 312 hlm Harga buku: 55.000 rupiah Sinopsis Buku Buku ini menceritakan tentang pengalaman hidup James Herriot sebagai dokter hewan di sebuah desa fiksi di Yorkshire, I