Langsung ke konten utama

Art Isn't Always About Beauty




Seni itu tidak melulu tentang keindahan. Iya, kamu tidak salah baca. Gambar jelek bisa punya nilai tinggi dalam seni.

Maksudku, lihatlah karya-karya yang dibuat oleh seniman ternama ini. Apakah mereka terlihat indah dan berestetika tinggi bagimu?


"Portrait of woman in d`hermine pass (Olga)"
Pablo Picasso, 1923

modern art weird
"Peinture (Le Chien)", Joan Miro, 1930.
Terjual seharga $2,210,500


"Cat Catching A Bird", Pablo Picasso, 1939

...Yup.


Beberapa karya seni mungkin meninggalkan banyak orang bertanya-tanya mengapa mereka dikategorikan sebagai seni. Jika cukup gabut menelusuri pelukis-pelukis ternama di internet, kau mungkin akan menemukan sebuah lukisan berupa blok cat kuning dan oranye tanpa tambahan apapun dan bertanya-tanya mengapa karya ini bisa membuat nama Mark Rothko menjadi seorang pelukis besar. Apa yang membuat suatu hal dapat disebut seni? 
Kenapa sebuah lukisan kucing jelek dihargai sebagai karya terkenal Pablo Picasso? Kenapa pisang, ya, sebiji pisang yang diselotip ke dinding bisa masuk ke galeri seni dan terjual seharga $150.000? 



"Comedian" Maurizio Cattelan, 2019

Plato menyebutkan bahwa seni adalah representasi atau replikasi dari suatu objek nyata yang memiliki keindahan atau makna tertentu. Seni, secara simpel adalah hasil ekspresi manusia yang memuliki nilai-nilai tertentu. Nilai ini umumnya disetujui masyarakat sebagai nilai keindahan. Estetika. Seberapa bagus skill anatomi, goresan kuas dan pilihan warnamu. Definisi seni visual hingga jaman renaissance masih berkiblat pada nilai ini: bahwa lukisan yang indah adalah lukisan yang mampu terlihat nyata, halus, dan menggugah rasa kagum. Konsep ini masih tertanam pada pemikiran banyak orang sampai saat ini.

Meski begitu, nilai dari sebuah karya seni tidak hanya dilihat dari kehalusan cat serta kesempurnaan bentuk wajah semata. Manusia mencari hal-hal lebih dari sekadar estetika. Makna filosofis, kritik isu, emosi, dan ide dihargai oleh beberapa orang lebih dari keindahan. Beberapa seniman seperti Frida Kahlo menjadi dihargai karena nilai feminisme dan kebudayaan yang dimiliki karya-karyanya. Beberapa lainnya dihargai karena orisinalitas idenya seperti Kandinsky dan Picasso.


"Composition VII", karya bapak seni abstrak Wassily Kandinsky (1913)

Inilah yang membedakan karya-karya Van Gogh dengan lukisan pemandangan yang sering kita temui di toko-toko figura pinggir jalan. Mengapa karya ekspresionis Affandi lebih dihargai daripada sketsa waifu anime favoritmu yang cantik. Tentu, nilai sebuah karya juga dipengaruhi oleh selera audiens dan popularitas senimannya, tapi beberapa orang menginginkan sesuatu yang lebih dari sekadar seni yang umum. Sebuah ilustrasi anime dengan konsep dan pewarnaan keren memang bagus, tapi mereka kekurangan makna. Karya-karya itu kurang akan keunikan. 



Jual Lukisan Ikan Koi Fengshui 3 dimensi - Kota Bandung - Jelekong ...
Sering lihat lukisan mainstream seperti ini di pasar?

Kemudian ada faktor lain yang kusebut dengan nilai filosofis. Kasus itulah yang terjadi dalam seni-seni kontemporer yang punya kesan "ini-seni-bukan-sih", seperti karya ternama Mark Rothko 
Orange And Yellow di bawah. Kenapa, demi tuhan, lukisan seperti ini bisa dihargai jutaan dolar? 


"Orange And Yellow", Mark Rothko, 1956

Bagi pengamat seni, jawabannya bisa bervariasi: Karena lukisan Rothko mampu memancing emosi manusia hanya dengan blok-blok warna sederhana. Karena menatapnya dapat membuat audiensnya merasa 'masuk' kedalam lukisan ini. Semakin lama kau melihat blok cat kuning itu, kau akan mulai menyadari setiap goresan kuas pada lukisannya, dan menyadari kompleksitas dan cerita yang tersembunyi dalam simplisitasnya. Batasan warna yang diblur dan tak jelas seolah menunjukkan transisi dalam segala hal--waktu, kehidupan, emosi--yang tak punya batas pasti. Warna oranye terang milik Rothko perlahan memancing keluar perasaan serta kesan berbeda pada tiap orang; rasa tenang dan keramaian, terlingkupi dan kesendirian, warna pagi hari dan sore hari. Semua ini didasarkan oleh pengalaman masing-masing audiens, namun intinya adalah bagaimana sebuah lukisan mampu menawarkan lebih dari apa yang ia tunjukkan. Seni yang tidak hanya memanjakan mata, namun mampu merangsang pikiran manusia. Intinya, kau harus punya jiwa puitis atau filosofis kalau mau menikmati karya Rothko.


Alasan yang sama soal kenapa pisang-pisang dengan selotip tadi bisa masuk kedalam galeri seni besar. Bukan karena estetika yang dipuja oleh patung-patung marmer yunani, tapi karena makna yang mampu diceritakan oleh karya-karya itu. Orang-orang menghargai filosofi yang mampu diberikan oleh sebuah karya. Seni konseptual adalah jenis dari karya-karya semacam ini. Salah satu pionir seni konseptual, Marcel Duchamp dengan karyanya Roue de bicyclette menantang makna tentang apa-apa saja yang dapat disebut karya seni menggunakan instalasi roda sepeda dan kursi dan menyebutnya seni. Dengan menempatkan barang rumah tangga (atau rongsokan?) biasa sebagai karya seni dan memberinya 'status' berharga, ia memberi ejekan terhadap standar-standar seni konvensional serta dunia persenian secara umum. "Art is overrated!" adalah pesan Duchamp dibalik instalasinya.


Duchamp , Marcel | Bicycle wheel
"Roue de bicyclette", Marcel Duchamp, 1913

Ide ini dianggap brilian oleh segelintir seniman-seniman nyentrik, kemudian bum! mulailah perkembangan aliran bernama seni konseptual. Hingga sekarang, seni konseptual tidak mengutamakan nilai-nilai seni tradisional dan lebih menghargai makna simboliknya sebagai kritik sosial-politik maupun apresiasi atas ide dan kreatifitas suatu individu.


One and Three Shovels - Joseph Kosuth Completion Date: 1965 Style ...
"One And Three Shovels", Joseph Kosuth, 1965
A-Christmas-Tree
"Tree", Paul McCarthy, 2014.
...dan ya, ini bukan pohon tapi butt pl--

Terdengar seperti nonsense? Tenang, kamu tidak sendiri. Banyak orang diluar sana yang juga berpikir bahwa kebanyakan seni kontemporer modern adalah bullsh*t. Tidak ada makna yang bisa diambil dari karya-karya minimalis Yoko Ono atau instalasi ambigu milik Paul McCarthy diatas. Banyak yang menganggap seni kontemporer adalah sebuah kemunduran bagi dunia seni. Terlalu mengagungkan kebebasan ide dan interpretasi-interpretasi filosofis diatas teknik dan estetika, dan meninggalkan karya-karya murahan yang tidak berseni. Kalau pakai istilah sekarang, seni kontemporer itu terlalu edgy.


Nilai sebuah karya seni itu relatif dan terkadang kerelatifan ini tidak masuk akal. Kamu bisa membuat karya yang menandingi Monalisa dan tetap dihargai murah jika namamu tidak terkenal, pun sebaliknya, kau bisa menaruh urinoir (tempat buang air) di atas pajangan dan orang-orang akan mengagumi dan membayarnya mahal karena benda itu dipasang oleh Marcel Duchamp. Dari perspektif kita, seakan orang-orang menghargai seni jelek hanya karena sedikit bacotan tak masuk akal. Tapi, inilah jawaban dari paradoks itu: bagaimana kau bisa mengatakan sebuah karya jelek jika nilai dari seni itu sendiri relatif? 

Aku menemukan satu contoh konkrit bagaimana konsep ini bekerja. Alkisah ada seorang youtuber yang nge-prank para pengantusias seni di London dengan memajang lukisan asal-asalan buatannya di sebuah galeri dan berpura-pura seolah itu adalah karya-karya mahal yang punya nilai seni tinggi. 


Splatter Painting with Kids - Crazy Good Fun for All Ages!
Kurang lebih cipratan-cipratan random seperti ini, dibuat tanpa keahlian seni.

Tebak punya tebak, para pengunjung galeri termakan prank youtuber itu, dan karya-karya random yang ia buat sebagai lelucon berhasil terjual hingga ratusan pound. Orang-orang mungkin akan berpikir, haha, prank-nya berhasil, para pengunjung itu tertipu. Tapi kau tahu? Faktanya youtuber itu tidak menipu para pengunjung itu sama sekali. Itu adalah nilai asli dari lukisannya, dan ia memang berhasil membuat karya seni berharga tinggi dari gambar mutu rendahKarena pasarlah yang menentukan harga sebuah lukisan. Tak peduli lukisan itu adalah coretan random, kalau ada yang serius mau membelinya seharga ratusan pound, kau bisa apa? Tak ada yang bisa menyalahkan jika pasar menganggap sebuah karya itu bernilai seni tinggi. 

Pada akhirnya, seni adalah sebuah bentuk ekspresi. Seni digunakan untuk mengkomunikasikan sebuah ide dan dapat menjadi simbol untuk buah pikiran manusia, emosi, atau konsep rumit. Seni mampu berbicara meski hanya dari warna dan bentuk tanpa kata. Dalam prosesnya, seni mampu menggugah pikiran serta pengalaman manusia hanya dari rangsang indera sederhana. Mungkin inilah alasan kita menghargai aliran seni garda terdepan seperti minimalism, cubism, atau abstrak--dan mengapa kita terus memasukkan benda-benda 'aneh' dan tak menarik ke dalam galeri seni. 


"Three Rocks", John Ferren, 1949

Karena seni tidak melulu tentang keindahan. Tak ada satu aliran seni yang paling baik dari semuanya, dan tak pernah ada satu aliran yang lebih baik dari aliran lain. Dalam seni tak pernah ada karya yang jelek, karena seni yang sejati tak akan menyempitkan pandanganmu, namun ia membukanya selebar mungkin.


-Mosaik Bintang, 
sebuah esai kegabutan


Further reads & sources:
It's Okay Not to Like Modern Arts (2017). Eve Bigaj.
Why Is Conceptual Art So Tricky To Explain (2019). Google Arts & Cultures.
Why these all-white paintings are in museums and mine aren't (2017). Vox.
Wikiart: Visual Art Encyclopedia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Komposisi Gambar Suasana Untuk Portofolio Seni: Studi Kasus Sketsa

Halo teman-teman! Kali ini aku mau berbagi sedikit ilmu membuat gambar suasana yang menarik lewat studi kasus kecil yang baru aku dapat kemarin. Gambar suasana adalah salah satu komponen wajib portofolio seni untuk mendaftar ke SNMPTN dan SBMPTN untuk jadi salah satu kriteria seleksi PTN. Mulai dari tahunku, SBMPTN bidang seni & olahraga cukup mewajibkan portofolio untuk dilampirkan bersama nilai tes tulis, berbeda dengan kebijakan SBMPTN tahun lalu yang mengharuskan peserta tes menggambar langsung di tempat ujian. Kemarin lusa, 24 Juni 2019, adalah hari terakhir pendaftaran SBMPTN untuk tahun ini. Salah satu temanku yang ingin masuk DKV waktu itu minta bantuanku untuk gambar suasana karena dia kena  artblock.  Iya, DKV itu juga pernah jadi impianku. Dulu aku rajin cari tips trik seputar porto, latihan gambar, bahkan UTBK pun aku murtad ke soshum karena berniat mau masuk FSRD itebeh. Tapi alhamdulillah takdir berkata lain dan aku malah dapat SNMPTN duluan ke Jogja. Da

Belajar Bahasa Isyarat!

Nggak gaes, aku nggak belajar bahasa isyarat karena habis nonton Koe no Katachi.  Ehem. Jadi, Februari kemarin aku mengikuti sebuah workshop bahasa isyarat di Jogja. Workshop kecil-kecilan ini diadakan oleh sebuah komunitas di Jogja yang juga memiliki concern seputar isu disabilitas. Kebetulan aku punya minat buat belajar bahasa isyarat, soalnya menarik aja gitu. Rasanya keren kalau aku bisa membantu penyandang disabilitas tunarungu dengan mencoba belajar bahasa mereka. Teman tuli ⁠— begitu cara kita menyebut orang penyandang tunarungu ⁠— memakai bahasa isyarat sebagai pengganti komunikasi verbal biasa. Umumnya para penyandang tunarungu bisa saling berkomunikasi isyarat cepat dengan tunarungu lainnya, tapi mayoritas orang dengan pendengaran normal (disebut teman dengar) tidak fasih atau bahkan tak tahu bahasa isyarat sama sekali. Oleh karena itu, amat berharga bagi teman dengar untuk bisa bahasa isyarat karena bisa mempermudah teman tuli berkomunikasi. Workshop ini diba

Resensi Buku If Only They Could Talk (Andai Mereka Bisa Bicara)

If Only They Could Talk adalah novel yang kuketahui lewat Laskar Pelangi, novel karya penulis favoritku Andrea Hirata. Aku mengenal buku karya James Herriot ini sebagai buku yang dihadiahkan A Ling ke Ikal dalam novelnya sebelum pergi ke Jakarta. Dikisahkan dalam Laskar Pelangi, dari novel Herriot inilah Ikal mengenal Edensor, sebuah desa di pedalaman Yorkshire, Inggris, yang nantinya akan menjadi memori pelipur laranya akan A Ling. Karena endorse yang begitu kuat dari Laskar Pelangi ini, aku pun akhirnya membeli buku ini di sh*pee tahun lalu. Berikut ialah resensi bukunya: Identitas Buku Source: Bukalapak Judul: If Only They Could Talk (Andai Mereka Bisa Bicara) Pengarang: James Herriot Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Penerjemah: Ny. Suwarni A.S. Tahun Terbit: 2016 (cetakan ketiga) Tebal halaman: 312 hlm Harga buku: 55.000 rupiah Sinopsis Buku Buku ini menceritakan tentang pengalaman hidup James Herriot sebagai dokter hewan di sebuah desa fiksi di Yorkshire, I