Langsung ke konten utama

Resensi Buku If Only They Could Talk (Andai Mereka Bisa Bicara)


If Only They Could Talk adalah novel yang kuketahui lewat Laskar Pelangi, novel karya penulis favoritku Andrea Hirata. Aku mengenal buku karya James Herriot ini sebagai buku yang dihadiahkan A Ling ke Ikal dalam novelnya sebelum pergi ke Jakarta.

Dikisahkan dalam Laskar Pelangi, dari novel Herriot inilah Ikal mengenal Edensor, sebuah desa di pedalaman Yorkshire, Inggris, yang nantinya akan menjadi memori pelipur laranya akan A Ling. Karena endorse yang begitu kuat dari Laskar Pelangi ini, aku pun akhirnya membeli buku ini di sh*pee tahun lalu. Berikut ialah resensi bukunya:

Identitas Buku
Source: Bukalapak
Judul: If Only They Could Talk (Andai Mereka Bisa Bicara)
Pengarang: James Herriot
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Penerjemah: Ny. Suwarni A.S.
Tahun Terbit: 2016 (cetakan ketiga)
Tebal halaman: 312 hlm
Harga buku: 55.000 rupiah

Sinopsis Buku
Buku ini menceritakan tentang pengalaman hidup James Herriot sebagai dokter hewan di sebuah desa fiksi di Yorkshire, Inggris yang bernama Darrowby. Disini diceritakan tentang tahun pertama Herriot menjadi dokter hewan pembantu di tempat dokter hewan ternama desa Darrowby, Siegfried Farnon yang eksentrik. Mengambil latar waktu tahun 1937, James Herriot adalah seorang freshgraduate yang baru lulus sebagai dokter hewan dan belum memiliki banyak pengalaman. Ia bekerja di tempat Siegfried Farnon dan ditemani oleh anaknya, Tristan Farnon yang juga merupakan mahasiswa kedokteran hewan. Namun Tristan adalah orang yang agak sial dan sedikit pemalas, sehingga ia tak lulus-lulus. Bertiga, mereka memenuhi permintaan para peternak dan penduduk lokal untuk mengecek dan menyembuhkan berbagai hewan, dari sapi ternak, kuda tunggangan, hingga kucing peliharaan. Kasus-kasus ini bermacam-macam dari yang mengesalkan seperti kasus kuda peternak Soames, hingga yang lucu seperti kasus Tricki Woo anjing Ms. Pumphrey.

Kelebihan Buku
(Pertama, ilustrasi covernya lucu!) Buku ini menceritakan pengalaman otentik seorang dokter hewan pada masanya, membuatmu bisa membayangkan, 'apa sih rasanya jadi dokter hewan'? Yah, meskipun pengalaman yang diceritakan adalah pengalaman dokter hewan jadul pasca PD I. Kalau kalian punya kawan yang kebetulan kuliah di FKH, Andai Mereka Bisa Bicara adalah buku yang bagus untuk hadiah ulang tahun mereka. Membacanya seperti membaca cerita koas anak FKH era 30-an dalam bentuk novel, menurutku.

Setiap bab umumnya membahas satu kasus hewan yang berbeda, walau ada juga kasus-kasus yang diceritakan dalam lebih dari satu bab. Banyak pengalaman kedokteran hewan yang menarik diceritakan disini, seperti membersihkan nanah kaki kuda, membantu kelahiran anak sapi yang sungsang, menyembuhkan sapi yang putingnya tersumbat, penyakit radang susu pada sapi, pemeriksaan diagnostik TBC untuk domba, membersihkan rahim ternak, hingga operasi tumor pada anjing.

Selain pengalaman-pengalaman menangani kasus, banyak istilah medis dan pengetahuan terkait kedokteran hewan dapat ditemukan pada buku ini. Meskipun begitu, Herriot menuliskan ceritanya dengan lugas dan penuh dengan humor, membuat buku ini pantas mendapat julukan buku Slice of Life ala dokter hewan. Dalam banyak bab pun, selalu ada moral yang bisa dipetik dari kasus-kasus yang ditangani oleh Herriot. Entah itu tentang nilai kehidupan, maupun nilai pribadi. Kita selalu bisa belajar sesuatu dari Tristan si Sial maupun penduduk Darrowby lain.

Kekurangan Buku
Meskipun paragraf deskriptif khas Herriot dapat membuat kita membayangkan dengan lebih detail suasana pedesaan Darrowby, di beberapa tempat paragraf seperti itu rasanya membuat novel ini jadi bertele-tele dan membosankan. Latar waktu yang mengambil era 1930-an juga membuat pembaca-pembaca milenial yang minim referensi sulit membayangkan setting suasana di era seperti itu dalam novelnya. Terlebih lagi, latar waktunya yang tidak dijelaskan dari awal membuatku harus mengira-ngira setting zaman dari novel ini sambil membayangkan penduduk Darrowby memakai jas dan bawahan khas era victoria tahun 1820-an.

Ditambah lagi, buku ini adalah hasil terjemahan lawas (terbitan pertama oleh Gramedia Pustaka dicetak tahun 1978), sehingga gaya bahasanya, menurutku, agak lawas. Banyak kata tidak baku terdapat di dalam bukunya, dan beberapa pemilihan kata terjemahan kurang bisa menarik pembaca.

"Aye, sampaikan pesan jika dia pulang. Katakan bahwa saya, Bert Sharpe dari Borrow Hills, punya lembu yang bocor."
"Bocor?"
"Ya, betul. Dia sudah ngowos tiga kaleng."
"Tiga kaleng?"
"Aye, kalau tidak terlanjur ditolong, pentilnya akan nyenyeh bukan?"
"Kemungkinan besar."
"Dibedel?"
"Tentu."

Meksipun begitu, kekurangan diatas bukanlah permasalahan yang besar. Overall, cerita heartwarming penuh pesan milik James Herriot tetap bisa dinikmati meskipun dengan terjemahan lawas.
Fun fact! Aku menemukan banyak gaya bahasa yang amat mirip dengan Andrea Hirata pada buku ini. Beberapa gaya bahasa itu amat khas Andrea sampai rasanya kalimat itu seolah dicabut langsung dari paragraf tetralogi Laskar Pelangi. Kurasa Pak Cik Andrea amat terinspirasi dari buku ini saat menulis karya-karyanya ya :)

Itu saja yang bisa kuceritakan untuk kali ini. Baiklah, sampai bertemu lagi!

"If having a soul means being able to feel love and loyalty and gratitude, then animals are better off than a lot of humans."
- James Herriot 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Komposisi Gambar Suasana Untuk Portofolio Seni: Studi Kasus Sketsa

Halo teman-teman! Kali ini aku mau berbagi sedikit ilmu membuat gambar suasana yang menarik lewat studi kasus kecil yang baru aku dapat kemarin. Gambar suasana adalah salah satu komponen wajib portofolio seni untuk mendaftar ke SNMPTN dan SBMPTN untuk jadi salah satu kriteria seleksi PTN. Mulai dari tahunku, SBMPTN bidang seni & olahraga cukup mewajibkan portofolio untuk dilampirkan bersama nilai tes tulis, berbeda dengan kebijakan SBMPTN tahun lalu yang mengharuskan peserta tes menggambar langsung di tempat ujian. Kemarin lusa, 24 Juni 2019, adalah hari terakhir pendaftaran SBMPTN untuk tahun ini. Salah satu temanku yang ingin masuk DKV waktu itu minta bantuanku untuk gambar suasana karena dia kena  artblock.  Iya, DKV itu juga pernah jadi impianku. Dulu aku rajin cari tips trik seputar porto, latihan gambar, bahkan UTBK pun aku murtad ke soshum karena berniat mau masuk FSRD itebeh. Tapi alhamdulillah takdir berkata lain dan aku malah dapat SNMPTN duluan ke Jogja. Da

Belajar Bahasa Isyarat!

Nggak gaes, aku nggak belajar bahasa isyarat karena habis nonton Koe no Katachi.  Ehem. Jadi, Februari kemarin aku mengikuti sebuah workshop bahasa isyarat di Jogja. Workshop kecil-kecilan ini diadakan oleh sebuah komunitas di Jogja yang juga memiliki concern seputar isu disabilitas. Kebetulan aku punya minat buat belajar bahasa isyarat, soalnya menarik aja gitu. Rasanya keren kalau aku bisa membantu penyandang disabilitas tunarungu dengan mencoba belajar bahasa mereka. Teman tuli ⁠— begitu cara kita menyebut orang penyandang tunarungu ⁠— memakai bahasa isyarat sebagai pengganti komunikasi verbal biasa. Umumnya para penyandang tunarungu bisa saling berkomunikasi isyarat cepat dengan tunarungu lainnya, tapi mayoritas orang dengan pendengaran normal (disebut teman dengar) tidak fasih atau bahkan tak tahu bahasa isyarat sama sekali. Oleh karena itu, amat berharga bagi teman dengar untuk bisa bahasa isyarat karena bisa mempermudah teman tuli berkomunikasi. Workshop ini diba