Langsung ke konten utama

Cerita Pendakian: Muncak ke Gunung Pesagi ~Part 2

Sumber: dokumentasi pribadi

Aku lagi semangat-semangatnya ngeblogging ntah kenapa, wkwkwk. Oke, Rin balik lagi melanjut cerita. Kemarin aku sudah nyeritain pejalanan kita mendaki sampe basecamp dua di dekat puncak. Disana kita bermalam di tenda dan besok paginya berangkat ke puncak.

Di dekat puncak dingin banget begitu jam 2-3 pagi. Ketinggian Pesagi memang nggak seberapa dibandingkan gunung-gunung di Jawa, cuma 2200 mdpl, tapi ini sudah paling tinggi di Lampung. Sekitar jam-jam itu aku terbangun saking dinginnya suhu udara. Terus akhirnya nggak tidur, duduk di depan api unggun sampai pagi. Gini aja udah nggak kuat, gimana Semeru nanti coba.

Paginya, kita bangun menyiapkan sarapan sebelum naik. Jam 10, aku Bersama Kiyay Riza dan Agus berangkat ke puncak, sementara Kiyay Bambang menemani ayahku turun duluan. Udah terlalu tua buat muncak kurasa, haha :))

Makin ke atas, kemiringan lerengnya jadi makin curam. Beberapa tempat bahkan perlu dipanjat dengan tangan. Terus semakin ke atas vegetasinya juga mulai berubah; semakin banyak pakis dan lumut-lumutan serta makin sedikit pepohonan besar. Di atas puncak juga banyak tumbuh rumpun-rumpun anggrek macan dan kantong semar. Agak senang juga bisa melihat dua tanaman itu secara alami di habitat aslinya. Sebelum ini aku cuma tahu mereka dari buku pelajaran.
Kenampakan dua primata di habitat Gunung Pesagi

Terus, waktu dalam perjalanan ke puncak kami bertiga bertemu dengan tiga bapak-bapak yang baru turun dari puncak. Aku heran karena orang-orang ini cuma berpakaian celana kain dan kaos pendek seperti penduduk lokal, sama sekali gak kelihatan seperti pendaki gunung. Bapak yang berjalan paling depan memakai celana dan luaran hitam-hitam panjang serta tutup kepala tradisional jawa sambil membawa tanaman bunga-bunga entah apa. Ada juga rumput-rumputan liar yang digenggam bapak-bapak yang bejalan berbaris ini. Oalah, pikirku, rupanya mereka ini para penganut ilmu perdukunan yang sedang mencari bahan sajen. Kebetulan semalam memang malam 1 Suro. Dari dulu, gunung Pesagi dianggap gunung yang mistis oleh masyarakat sekitar, bahkan suku asli Lampung sendiri dikatakan bermula dari wilayah sekitar gunung ini. Bapak-bapak dukun itu bilang kalau di atas masih ada beberapa orang dari rombongan mereka sebelum pergi. Setelah itu, kami pun melanjutkan perjalanan.

Di jalur menuju puncak, terdapat sebuah jalur yang disebut Jalur Penyambungan. Jalur ini berupa jalan sempit pada sebuah punggungan yang sisi kanan-kirinya berupa lereng terjal. Karena bentuknya yang mirip jembatan inilah dia disebut Jalur Penyambungan. Setelah beberapa lama, kami pun mencapai jalur tersebut. Di sisi lembah kanannya, kita bisa melihat air terjun tinggi serta sebuah danau kecil di tengah-tengah lembah yang mengitarinya. Rupanya sisi kanan merupakan bekas kawah Pesagi yang sudah digenangi oleh akumulasi air hujan.

Jalur Penyambungan dilihat dari atas

Tiba di puncak, aku sedikit kecewa. Pasalnya Kiyay Agus dan yang lain bilang kalau dari puncak Pesagi kita bisa melihat panorama 360 derajat dari danau Ranau, puncak Seminung, serta daerah Oku Palembang di kejauhan sekaligus. Tapi ternyata sekarang ini puncak Pesagi sudah ditumbuhi pepohonan dan pemandangan di bawah kini nyaris gak bisa dilihat. Padahal konon, dari puncak Pesagi ini kita bisa melihat jembatan Ampera di kejauhan saat udara sedang bersih.
Tugu penanda di puncak

Di puncak, kami bertemu tiga bapak-bapak lain yang satu rombongan dengan bapak-bapak yang kami temui di jalur bawah tadi. Di puncak Pesagi terdapat bangunan mushola kecil serta beberapa shelter kayu alakadarnya mengelilingi tanah lapang kecil. Selain itu, di tengah-tengah tanah lapang itu terdapat tugu pembatas wilayah bekas peninggalan belanda yang tingginya sekitar dua meter. Sekarang, tugu itu lebih sering disalah gunakan untuk kegiatan pesugihan dan semacamnya. Kiyay bilang dibawah tugu itu penuh jimat. Dan benar saja, di bawah tugu itu terselip batang rokok baru, beberapa kertas terlipat misterius yang aku nggak berani untuk mengambilnya, dan sebuah sajen yang sudah terbakar. Btw, lingga batu itu bisa dipakai jadi jam matahari juga kalau tahu caranya.

Kemudian yang menarik lagi, di puncak Pesagi terdapat lempeng keramik bertuliskan Silsilah Keturunan Jurai. Aku nggak yakin apakah Jurai itu semacam nama generasi dalam Keratuan Lampung atau apa, tapi merujuk pada slogan Provinsi Lampung "Sai Bumi Ruwa Jurai", Jurai sendiri bisa bermakna suku atau golongan... kalau nggak salah, aku pun kurang paham. Maapkan pengetahuan saya soal provinsi sendiri yang dangkal ini.

Di lempeng keramik itu tertera silsilah pertama bernama Grayo Begeduh dengan gelar Ratu di Pucak, generasi-generasi selanjutnya ymkemudian dibagi menjadi dua kelompok, Minak Berajo dan Siap Ayub Ratu Daho. Entah siapa nama-nama ini, tapi mungkin mereka dua kelompok keturunan bangsawan suku Lampung yang ada di Liwa. Maapkan pengetahuan saya tentang provinsi sendiri yang dangkal ini (2).

Itu saja ceritaku mendaki Gunung Pesagi saat libur kenaikan kelas 12. Setelah itu aku belum naik gunung lagi sampai sekarang, padahal sebulan lagi kulyah dan padahal gunung di Lampung yang belum kucoba tinggal Seminung :( Yasudalaya, tunggu saja pendakianku di Jawa untuk post selanjutnya!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Komposisi Gambar Suasana Untuk Portofolio Seni: Studi Kasus Sketsa

Halo teman-teman! Kali ini aku mau berbagi sedikit ilmu membuat gambar suasana yang menarik lewat studi kasus kecil yang baru aku dapat kemarin. Gambar suasana adalah salah satu komponen wajib portofolio seni untuk mendaftar ke SNMPTN dan SBMPTN untuk jadi salah satu kriteria seleksi PTN. Mulai dari tahunku, SBMPTN bidang seni & olahraga cukup mewajibkan portofolio untuk dilampirkan bersama nilai tes tulis, berbeda dengan kebijakan SBMPTN tahun lalu yang mengharuskan peserta tes menggambar langsung di tempat ujian. Kemarin lusa, 24 Juni 2019, adalah hari terakhir pendaftaran SBMPTN untuk tahun ini. Salah satu temanku yang ingin masuk DKV waktu itu minta bantuanku untuk gambar suasana karena dia kena  artblock.  Iya, DKV itu juga pernah jadi impianku. Dulu aku rajin cari tips trik seputar porto, latihan gambar, bahkan UTBK pun aku murtad ke soshum karena berniat mau masuk FSRD itebeh. Tapi alhamdulillah takdir berkata lain dan aku malah dapat SNMPTN duluan ke Jogja. Da

Belajar Bahasa Isyarat!

Nggak gaes, aku nggak belajar bahasa isyarat karena habis nonton Koe no Katachi.  Ehem. Jadi, Februari kemarin aku mengikuti sebuah workshop bahasa isyarat di Jogja. Workshop kecil-kecilan ini diadakan oleh sebuah komunitas di Jogja yang juga memiliki concern seputar isu disabilitas. Kebetulan aku punya minat buat belajar bahasa isyarat, soalnya menarik aja gitu. Rasanya keren kalau aku bisa membantu penyandang disabilitas tunarungu dengan mencoba belajar bahasa mereka. Teman tuli ⁠— begitu cara kita menyebut orang penyandang tunarungu ⁠— memakai bahasa isyarat sebagai pengganti komunikasi verbal biasa. Umumnya para penyandang tunarungu bisa saling berkomunikasi isyarat cepat dengan tunarungu lainnya, tapi mayoritas orang dengan pendengaran normal (disebut teman dengar) tidak fasih atau bahkan tak tahu bahasa isyarat sama sekali. Oleh karena itu, amat berharga bagi teman dengar untuk bisa bahasa isyarat karena bisa mempermudah teman tuli berkomunikasi. Workshop ini diba

Resensi Buku If Only They Could Talk (Andai Mereka Bisa Bicara)

If Only They Could Talk adalah novel yang kuketahui lewat Laskar Pelangi, novel karya penulis favoritku Andrea Hirata. Aku mengenal buku karya James Herriot ini sebagai buku yang dihadiahkan A Ling ke Ikal dalam novelnya sebelum pergi ke Jakarta. Dikisahkan dalam Laskar Pelangi, dari novel Herriot inilah Ikal mengenal Edensor, sebuah desa di pedalaman Yorkshire, Inggris, yang nantinya akan menjadi memori pelipur laranya akan A Ling. Karena endorse yang begitu kuat dari Laskar Pelangi ini, aku pun akhirnya membeli buku ini di sh*pee tahun lalu. Berikut ialah resensi bukunya: Identitas Buku Source: Bukalapak Judul: If Only They Could Talk (Andai Mereka Bisa Bicara) Pengarang: James Herriot Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Penerjemah: Ny. Suwarni A.S. Tahun Terbit: 2016 (cetakan ketiga) Tebal halaman: 312 hlm Harga buku: 55.000 rupiah Sinopsis Buku Buku ini menceritakan tentang pengalaman hidup James Herriot sebagai dokter hewan di sebuah desa fiksi di Yorkshire, I