Sumber: dokumentasi pribadi |
Aku lagi semangat-semangatnya ngeblogging ntah kenapa, wkwkwk. Oke, Rin balik lagi melanjut cerita. Kemarin aku sudah nyeritain pejalanan kita mendaki sampe basecamp dua di dekat puncak. Disana kita bermalam di tenda dan besok paginya berangkat ke puncak.
Di dekat puncak dingin banget begitu jam 2-3 pagi. Ketinggian Pesagi memang nggak seberapa dibandingkan gunung-gunung di Jawa, cuma 2200 mdpl, tapi ini sudah paling tinggi di Lampung. Sekitar jam-jam itu aku terbangun saking dinginnya suhu udara. Terus akhirnya nggak tidur, duduk di depan api unggun sampai pagi. Gini aja udah nggak kuat, gimana Semeru nanti coba.
Paginya, kita bangun menyiapkan sarapan sebelum naik. Jam 10, aku Bersama Kiyay Riza dan Agus berangkat ke puncak, sementara Kiyay Bambang menemani ayahku turun duluan. Udah terlalu tua buat muncak kurasa, haha :))
Paginya, kita bangun menyiapkan sarapan sebelum naik. Jam 10, aku Bersama Kiyay Riza dan Agus berangkat ke puncak, sementara Kiyay Bambang menemani ayahku turun duluan. Udah terlalu tua buat muncak kurasa, haha :))
Makin ke atas, kemiringan lerengnya jadi makin curam. Beberapa tempat bahkan perlu dipanjat dengan tangan. Terus semakin ke atas vegetasinya juga mulai berubah; semakin banyak pakis dan lumut-lumutan serta makin sedikit pepohonan besar. Di atas puncak juga banyak tumbuh rumpun-rumpun anggrek macan dan kantong semar. Agak senang juga bisa melihat dua tanaman itu secara alami di habitat aslinya. Sebelum ini aku cuma tahu mereka dari buku pelajaran.
Terus, waktu dalam perjalanan ke puncak kami bertiga bertemu dengan tiga bapak-bapak yang baru turun dari puncak. Aku heran karena orang-orang ini cuma berpakaian celana kain dan kaos pendek seperti penduduk lokal, sama sekali gak kelihatan seperti pendaki gunung. Bapak yang berjalan paling depan memakai celana dan luaran hitam-hitam panjang serta tutup kepala tradisional jawa sambil membawa tanaman bunga-bunga entah apa. Ada juga rumput-rumputan liar yang digenggam bapak-bapak yang bejalan berbaris ini. Oalah, pikirku, rupanya mereka ini para penganut ilmu perdukunan yang sedang mencari bahan sajen. Kebetulan semalam memang malam 1 Suro. Dari dulu, gunung Pesagi dianggap gunung yang mistis oleh masyarakat sekitar, bahkan suku asli Lampung sendiri dikatakan bermula dari wilayah sekitar gunung ini. Bapak-bapak dukun itu bilang kalau di atas masih ada beberapa orang dari rombongan mereka sebelum pergi. Setelah itu, kami pun melanjutkan perjalanan.
Di jalur menuju puncak, terdapat sebuah jalur yang disebut Jalur Penyambungan. Jalur ini berupa jalan sempit pada sebuah punggungan yang sisi kanan-kirinya berupa lereng terjal. Karena bentuknya yang mirip jembatan inilah dia disebut Jalur Penyambungan. Setelah beberapa lama, kami pun mencapai jalur tersebut. Di sisi lembah kanannya, kita bisa melihat air terjun tinggi serta sebuah danau kecil di tengah-tengah lembah yang mengitarinya. Rupanya sisi kanan merupakan bekas kawah Pesagi yang sudah digenangi oleh akumulasi air hujan.
Tiba di puncak, aku sedikit kecewa. Pasalnya Kiyay Agus dan yang lain bilang kalau dari puncak Pesagi kita bisa melihat panorama 360 derajat dari danau Ranau, puncak Seminung, serta daerah Oku Palembang di kejauhan sekaligus. Tapi ternyata sekarang ini puncak Pesagi sudah ditumbuhi pepohonan dan pemandangan di bawah kini nyaris gak bisa dilihat. Padahal konon, dari puncak Pesagi ini kita bisa melihat jembatan Ampera di kejauhan saat udara sedang bersih.
Di puncak, kami bertemu tiga bapak-bapak lain yang satu rombongan dengan bapak-bapak yang kami temui di jalur bawah tadi. Di puncak Pesagi terdapat bangunan mushola kecil serta beberapa shelter kayu alakadarnya mengelilingi tanah lapang kecil. Selain itu, di tengah-tengah tanah lapang itu terdapat tugu pembatas wilayah bekas peninggalan belanda yang tingginya sekitar dua meter. Sekarang, tugu itu lebih sering disalah gunakan untuk kegiatan pesugihan dan semacamnya. Kiyay bilang dibawah tugu itu penuh jimat. Dan benar saja, di bawah tugu itu terselip batang rokok baru, beberapa kertas terlipat misterius yang aku nggak berani untuk mengambilnya, dan sebuah sajen yang sudah terbakar. Btw, lingga batu itu bisa dipakai jadi jam matahari juga kalau tahu caranya.
Kemudian yang menarik lagi, di puncak Pesagi terdapat lempeng keramik bertuliskan Silsilah Keturunan Jurai. Aku nggak yakin apakah Jurai itu semacam nama generasi dalam Keratuan Lampung atau apa, tapi merujuk pada slogan Provinsi Lampung "Sai Bumi Ruwa Jurai", Jurai sendiri bisa bermakna suku atau golongan... kalau nggak salah, aku pun kurang paham. Maapkan pengetahuan saya soal provinsi sendiri yang dangkal ini.
Di lempeng keramik itu tertera silsilah pertama bernama Grayo Begeduh dengan gelar Ratu di Pucak, generasi-generasi selanjutnya ymkemudian dibagi menjadi dua kelompok, Minak Berajo dan Siap Ayub Ratu Daho. Entah siapa nama-nama ini, tapi mungkin mereka dua kelompok keturunan bangsawan suku Lampung yang ada di Liwa. Maapkan pengetahuan saya tentang provinsi sendiri yang dangkal ini (2).
Itu saja ceritaku mendaki Gunung Pesagi saat libur kenaikan kelas 12. Setelah itu aku belum naik gunung lagi sampai sekarang, padahal sebulan lagi kulyah dan padahal gunung di Lampung yang belum kucoba tinggal Seminung :( Yasudalaya, tunggu saja pendakianku di Jawa untuk post selanjutnya!
Komentar
Posting Komentar