Langsung ke konten utama

Info Trip Snorkeling ke Pahawang dan Pantai Mahitam

Aku baru teringat mau membagikan info trip ala backpacker saat camp satu malam di Pantai Maitam, Kabupaten Pesawaran Lampung kemarin, sekaligus juga snorkeling ke Pulau Pahawang.


Dokumentasi Pribadi

Saat libur kelulusan SMA tahun lalu, ketika aku masih sebegitu gabutnya dan penuh dengan waktu luang, aku mengajak dua sepupuku yang masih SMA untuk pergi beachcamp ke Pahawang. Awalnya kami berencana beachcamp ke Tanjung Belimbing yang berada dalam wilayah TNBBS, namun terkendala perizinan karena rupanya wilayah itu tidak dibuka untuk umum lagi.
Sebelumnya, kami sudah memesan paket open trip snorkeling satu hari penuh lewat salah satu kontak tour guide lokal Pahawang. Paketnya seharga 180k sudah termasuk peralatan snorkel, makan siang, dan transport perahu seharian penuh. Open-trip sistemnya kita bergabung dengan wisatawan lain yang juga membeli paket open-trip, beda dengan closed-trip dimana kita menyewa guide, peralatan dan perahu penuh untuk kita sendiri. Closed-trip ini biasanya kisaran 700k hingga satu juta keatas untuk perjalanan sehari penuh, makanya biayanya lebih efisien kalau rombongannya isi 4-5 orang keatas. Atau untuk yang mau honeymoon dengan pacar berdua, mungkin.
Kalian bisa mencari kontak guide Pahawang di google, banyak website trip organizer Pahawang kok, cari saja yang paling murah.
Untuk akomodasi, kami bertiga membawa tenda karena memang berencana kemah disana. Sulit mencari penginapan murah harga pelajar di Pahawang, dan percayalah pembaca, liburan ke Pahawang itu kurang nikmat rasanya kalau hanya day-trip tanpa bakar-bakaran dan tidur di tenda di pinggir pantai Bahari Ketapang. Karena aku merasa ingin ‘berpetualang’ (dan kami juga tak ada boncengan), kami kesana ngeteng naik kendaraan umum dari Lampung Timur.
Tujuan yang harus kalian ambil kalau ingin memulai perjalanan dari Bandarlampung adalah Ramayana Pasar Bawah – Gudang Garam – Ketapang. Kalau seperti kami, kalian memulai dari terminal Rajabasa, ke Pasar Bawah cukup naik angkot Balam sebesar 5 ribu perorang. Dari Pasar Bawah ke Gudang Garam kalian bisa naik BRT (Bus Rapid Transit) arah Teluk dengan sekali naik 3 ribu rupiah (murah banget astogeng, kenapa selama ini aku selalu naik angkot T_T). Setelah itu kalian bisa naik pickup arah Ketapang selama 1 jam dengan membayar 10k perorang. Pickup ini bukan truk pickup gitu ya, wkwk. Pickup ini sebenarnya angkutan umum dengan bak belakang terbuka, mirip-mirip angkot begitulah.
Kami berangkat Jumat, 12 Juli dari Lampung Timur. Pukul 7 pagi, kami naik bis Damri tujuan terminal Rajabasa dan tiba disana sekitar jam 1 siang. Berangkat dari Pasar Bawah, kami naik BRT Teluk dan sampai di Gudang Garam pukul 14.30. Kemudian naik pickup sampai di Pelabuhan Ketapang dan tiba sekitar pukul 15.15. Kami berhenti di Pantai Bahari Ketapang tak jauh dari pelabuhan. Disana di-charge 20k perorang untuk sewa lokasi menginap. Pantainya sudah bagus banget disitu. Ada bukit yang puncaknya bisa dipakai nge-camp, spot foto sunrise, area pantai bersih dekat Pantai Mahitam, dan fasilitas MCK + warung 24 jam di pantainya.



Pantai Lampung bisa dipake berenang sampai jauh dong, nggak kayak pantainya Jogja :)))

Pantai Mahitam sendiri berbeda pulau dengan Pantai Bahari Ketapang tempat kita menginap. Namun, yang unik dari pantai Mahitam adalah terdapat tombolo yang menghubungkan Pantai Ketapang dengan Mahitam. Tombolo, atau pematang pasir alamiah ini tak terendam air saat laut surut, sehingga kita bisa berjalan menyeberangi ‘selat’ selebar 300 meter yang memisahkan Pulau Mahitam di siang hari. Di Pantai Bahari Ketapang pun terdapat hutan pohon bakau alami. Kami pun memasang tenda dan bermalam disana setelah bermain di pinggir pantai sesorean hingga puas.
Besoknya kami packing tenda dan berangkat ke pelabuhan Ketapang jam 8.30 pagi. Untuk jalan dari pantai kita berkemah ke pelabuhan sebenarnya cukup jauh, makanya kami minta tolong diantar penduduk setempat (yang untungnya cukup baik mengantar kami cuma-cuma). FYI penduduk di sekitar Ketapang ini kebanyakan adalah penduduk asli dan bukan transmigran. Jadi, sebagai pendatang sementara, bersikaplah yang sopan ke para penduduk disana 🙂 Selanjutnya, seperti wisatawan lain, menghabiskan seharian penuh menjelajahi spot-spot selam di sekitar Pahawang. Ada dua (atau tiga? aku lupa) spot yang dikunjungi selama trip. Tempatnya keren, dengan spot-spot foto bawah laut dipenuhi ikan.



Sumber gambar: Travelblog.id

Tapi, kalau mau jujur? Jangan berekspektasi tinggi tempat ini mirip Bunaken yang penuh anemon warna-warni. Kebanyakan terumbu karang di Pahawang adalah kerangka terumbu karang berwarna pucat, dan sudah tidak dihuni alga zooxanthellae yang membuat mereka bisa berwarna merah-kuning-oranye. Pun hanya sedikit anemon-anemon pelangi yang bergoyang mirip jelly seperti di film Nemo itu.
Meski begitu, struktur kerangka-kerangka terumbu nan kompleks itu sendiri sudah bisa membuatmu ternganga kagum, dan tentu dapat memperindah feed instagram-mu. Ikan-ikan terumbu pun masih banyak disana, dan melihat mereka berenang di kanan-kirimu benar-benar satu tontonan yang memukau. Kabar baiknya lagi, sudah dilakukan program rehabilitasi terumbu karang oleh komunitas snorkel dan tour guide lokal dibantu oleh pemerintah setempat, jadi kita sudah mulai bisa melihat anemon-anemon biru elektrik dan merah tumbuh di beberapa tempat.
And that’s it! Kami pulang sekitar jam empat karena harus mengejar kendaraan umum lagi. Ah iya, untuk informasi pickup Ketapang dan angkot Balam biasanya selesai beroperasi setelah jam 6, jadi jangan sampai terlambat. Untuk pickup banyak yang sore ngetem di pelabuhan kok. Itu saja info tentang perjalanan kali ini, tunggu perjalananku selanjutnya 🙂
Good-by!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Komposisi Gambar Suasana Untuk Portofolio Seni: Studi Kasus Sketsa

Halo teman-teman! Kali ini aku mau berbagi sedikit ilmu membuat gambar suasana yang menarik lewat studi kasus kecil yang baru aku dapat kemarin. Gambar suasana adalah salah satu komponen wajib portofolio seni untuk mendaftar ke SNMPTN dan SBMPTN untuk jadi salah satu kriteria seleksi PTN. Mulai dari tahunku, SBMPTN bidang seni & olahraga cukup mewajibkan portofolio untuk dilampirkan bersama nilai tes tulis, berbeda dengan kebijakan SBMPTN tahun lalu yang mengharuskan peserta tes menggambar langsung di tempat ujian. Kemarin lusa, 24 Juni 2019, adalah hari terakhir pendaftaran SBMPTN untuk tahun ini. Salah satu temanku yang ingin masuk DKV waktu itu minta bantuanku untuk gambar suasana karena dia kena  artblock.  Iya, DKV itu juga pernah jadi impianku. Dulu aku rajin cari tips trik seputar porto, latihan gambar, bahkan UTBK pun aku murtad ke soshum karena berniat mau masuk FSRD itebeh. Tapi alhamdulillah takdir berkata lain dan aku malah dapat SNMPTN duluan ke Jogja. Da

Belajar Bahasa Isyarat!

Nggak gaes, aku nggak belajar bahasa isyarat karena habis nonton Koe no Katachi.  Ehem. Jadi, Februari kemarin aku mengikuti sebuah workshop bahasa isyarat di Jogja. Workshop kecil-kecilan ini diadakan oleh sebuah komunitas di Jogja yang juga memiliki concern seputar isu disabilitas. Kebetulan aku punya minat buat belajar bahasa isyarat, soalnya menarik aja gitu. Rasanya keren kalau aku bisa membantu penyandang disabilitas tunarungu dengan mencoba belajar bahasa mereka. Teman tuli ⁠— begitu cara kita menyebut orang penyandang tunarungu ⁠— memakai bahasa isyarat sebagai pengganti komunikasi verbal biasa. Umumnya para penyandang tunarungu bisa saling berkomunikasi isyarat cepat dengan tunarungu lainnya, tapi mayoritas orang dengan pendengaran normal (disebut teman dengar) tidak fasih atau bahkan tak tahu bahasa isyarat sama sekali. Oleh karena itu, amat berharga bagi teman dengar untuk bisa bahasa isyarat karena bisa mempermudah teman tuli berkomunikasi. Workshop ini diba

Resensi Buku If Only They Could Talk (Andai Mereka Bisa Bicara)

If Only They Could Talk adalah novel yang kuketahui lewat Laskar Pelangi, novel karya penulis favoritku Andrea Hirata. Aku mengenal buku karya James Herriot ini sebagai buku yang dihadiahkan A Ling ke Ikal dalam novelnya sebelum pergi ke Jakarta. Dikisahkan dalam Laskar Pelangi, dari novel Herriot inilah Ikal mengenal Edensor, sebuah desa di pedalaman Yorkshire, Inggris, yang nantinya akan menjadi memori pelipur laranya akan A Ling. Karena endorse yang begitu kuat dari Laskar Pelangi ini, aku pun akhirnya membeli buku ini di sh*pee tahun lalu. Berikut ialah resensi bukunya: Identitas Buku Source: Bukalapak Judul: If Only They Could Talk (Andai Mereka Bisa Bicara) Pengarang: James Herriot Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Penerjemah: Ny. Suwarni A.S. Tahun Terbit: 2016 (cetakan ketiga) Tebal halaman: 312 hlm Harga buku: 55.000 rupiah Sinopsis Buku Buku ini menceritakan tentang pengalaman hidup James Herriot sebagai dokter hewan di sebuah desa fiksi di Yorkshire, I