Langsung ke konten utama

Give me a break

Baiklah, baik.

Ini sudah genap seminggu sejak diriku kembali ke penyakit lamaku: menjadi produk gagal. Sampai muak setan satu ini tak hilang-hilang dari kepalaku. Mengapa sekolah tak pernah mengajari kami tentang keahlian yang kritis dalam kehidupan ini--tentang memahami prioritas dalam hidup? Tak pernah ada mata pelajaran tentang hal-hal penting yang dibutuhkan agar tidak menjadi manusia gagal seperti ini di sekolah. Kami hanya diperintah oleh orang dewasa menjalani tahap-tahap pendidikan begitu saja dan diharapkan bisa keluar dari sana sebagai manusia dewasa yang sudah paham akan dirinya sendiri, tugasnya dalam hidup, dan orang lain.

Lalu tiba-tiba kami terbangun, berada di dunia kerja, sebagai anak kecil yang terperangkap dalam kerangka orang dewasa. Mengucek-ucek mata, tertatih-tatih berdiri.

Beberapa masih beruntung punya zona transisi yang disebut 'kuliah' dimana mereka bisa lebih mempersiapkan diri menjadi orang dewasa, namun beberapa tidak. Banyak yang harus lagi-lagi belajar sendiri, kali ini dengan dunia nyata yang keras. Untungnya aku salah satu dari yang beruntung. Itu pun, tidak disertai dengan remote kendali yang benar. Mengapakah tak pernah ada manual book untuk kehidupan? Semacam buku How to Life 101: Bagaimana cara menjadi manusia bertanggungjawab? Bagaimana cara supaya kondisi mentalmu tidak membuat cacat hidupmu? Bagaimana cara mengendalikan keinginan impulsifmu untuk kesenangan-kesenangan pendek yang tak berguna untuk masa depan?

Orang dewasa hanya berkata: caranya ya jadilah manusia bertanggung jawab! caranya ya jadilah disiplin! caranya ya jadilah dewasa! Tanpa menyadari, tak semua manusia berbakat dalam pelajaran autodidak bernama kehidupan.

Baca ini, praktikkan itu, pahami aku.

Apa korelasi membaca buku dengan tidak berakhir bunuh diri?

Ah, tapi kenapa aku malah menyalah-nyalahkan institusi pendidikan? Bukankah salah satu ciri manusia gagal adalah menyalahkan orang lain atas ketidakberuntungan dirinya? Benar sekali, aku manusia gagal, maaf maaf saja. Adakah diluar sana yang bisa mengajariku cara menjadi manusia tidak gagal, hei? Aku sangat butuh bimbel tambahan disini. Demi tuhan, itu yang paling kubutuhkan dalam hidupku sekarang. Bagaimana. Cara. Menjadi. Manusia. Yang. Berfungsi. Dengan. Baik.

Katakan padaku, apa kau tahu cara bermain game ini dengan benar?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Komposisi Gambar Suasana Untuk Portofolio Seni: Studi Kasus Sketsa

Halo teman-teman! Kali ini aku mau berbagi sedikit ilmu membuat gambar suasana yang menarik lewat studi kasus kecil yang baru aku dapat kemarin. Gambar suasana adalah salah satu komponen wajib portofolio seni untuk mendaftar ke SNMPTN dan SBMPTN untuk jadi salah satu kriteria seleksi PTN. Mulai dari tahunku, SBMPTN bidang seni & olahraga cukup mewajibkan portofolio untuk dilampirkan bersama nilai tes tulis, berbeda dengan kebijakan SBMPTN tahun lalu yang mengharuskan peserta tes menggambar langsung di tempat ujian. Kemarin lusa, 24 Juni 2019, adalah hari terakhir pendaftaran SBMPTN untuk tahun ini. Salah satu temanku yang ingin masuk DKV waktu itu minta bantuanku untuk gambar suasana karena dia kena  artblock.  Iya, DKV itu juga pernah jadi impianku. Dulu aku rajin cari tips trik seputar porto, latihan gambar, bahkan UTBK pun aku murtad ke soshum karena berniat mau masuk FSRD itebeh. Tapi alhamdulillah takdir berkata lain dan aku malah dapat SNMPTN duluan ke Jogja. Da

Belajar Bahasa Isyarat!

Nggak gaes, aku nggak belajar bahasa isyarat karena habis nonton Koe no Katachi.  Ehem. Jadi, Februari kemarin aku mengikuti sebuah workshop bahasa isyarat di Jogja. Workshop kecil-kecilan ini diadakan oleh sebuah komunitas di Jogja yang juga memiliki concern seputar isu disabilitas. Kebetulan aku punya minat buat belajar bahasa isyarat, soalnya menarik aja gitu. Rasanya keren kalau aku bisa membantu penyandang disabilitas tunarungu dengan mencoba belajar bahasa mereka. Teman tuli ⁠— begitu cara kita menyebut orang penyandang tunarungu ⁠— memakai bahasa isyarat sebagai pengganti komunikasi verbal biasa. Umumnya para penyandang tunarungu bisa saling berkomunikasi isyarat cepat dengan tunarungu lainnya, tapi mayoritas orang dengan pendengaran normal (disebut teman dengar) tidak fasih atau bahkan tak tahu bahasa isyarat sama sekali. Oleh karena itu, amat berharga bagi teman dengar untuk bisa bahasa isyarat karena bisa mempermudah teman tuli berkomunikasi. Workshop ini diba

Resensi Buku If Only They Could Talk (Andai Mereka Bisa Bicara)

If Only They Could Talk adalah novel yang kuketahui lewat Laskar Pelangi, novel karya penulis favoritku Andrea Hirata. Aku mengenal buku karya James Herriot ini sebagai buku yang dihadiahkan A Ling ke Ikal dalam novelnya sebelum pergi ke Jakarta. Dikisahkan dalam Laskar Pelangi, dari novel Herriot inilah Ikal mengenal Edensor, sebuah desa di pedalaman Yorkshire, Inggris, yang nantinya akan menjadi memori pelipur laranya akan A Ling. Karena endorse yang begitu kuat dari Laskar Pelangi ini, aku pun akhirnya membeli buku ini di sh*pee tahun lalu. Berikut ialah resensi bukunya: Identitas Buku Source: Bukalapak Judul: If Only They Could Talk (Andai Mereka Bisa Bicara) Pengarang: James Herriot Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Penerjemah: Ny. Suwarni A.S. Tahun Terbit: 2016 (cetakan ketiga) Tebal halaman: 312 hlm Harga buku: 55.000 rupiah Sinopsis Buku Buku ini menceritakan tentang pengalaman hidup James Herriot sebagai dokter hewan di sebuah desa fiksi di Yorkshire, I