Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2020

My Love, My Darling, My Milky Way

Aku melihat milky way waktu berkunjung ke Liwa kemarin. 3 hari lalu aku baru balik dari liburan di Seminung dan Suoh. Sebuah daerah dataran tinggi di Lampung Barat yang geomorfologinya masih satu bagian dengan rangkaian pegunungan Bukit Barisan. 3 hari itu pula, aku berturut-turut melihat milky way di langit Lampung Barat.  Milky way , taburan ratusan bintang dan awan debu yang menghiasi langit waktu malam. Objek angkasa ini adalah salah satu fenomena yang paling dicari orang karena kenampakannya yang aestetique . Agar bisa melihat awan inti  milky way, alias Great Rift, p erlu usaha sedikit ekstra karena doi   hanya muncul di tempat yang minim polusi cahaya dan pada waktu serta cuaca yang tepat. Waktu yang tepat untuk bisa melihat milky way di Indonesia   ada di sekitar periode musim panas belahan bumi utara, atau istilahnya periode  summer solstice . Bulan Maret hingga Agustus di wilayah ekuator adalah waktu-waktu terbaik buat menemukan milky way.  Karena kita ada di wilayah ekua

Art Isn't Always About Beauty

Seni itu tidak melulu tentang keindahan. Iya, kamu tidak salah baca. Gambar jelek bisa punya nilai tinggi dalam seni. Maksudku, lihatlah karya-karya yang dibuat oleh seniman ternama ini. Apakah mereka terlihat indah dan berestetika tinggi bagimu? "Portrait of woman in d`hermine pass (Olga)" Pablo Picasso, 1923 "Peinture (Le Chien)", Joan Miro, 1930. Terjual seharga $2,210,500 "Cat Catching A Bird", Pablo Picasso, 1939 ...Yup. Beberapa karya seni mungkin meninggalkan banyak orang bertanya-tanya mengapa mereka dikategorikan sebagai seni. Jika cukup gabut menelusuri pelukis-pelukis ternama di internet, kau mungkin akan menemukan sebuah lukisan berupa blok cat kuning dan oranye tanpa tambahan apapun dan bertanya-tanya mengapa karya ini bisa membuat nama Mark Rothko menjadi seorang pelukis besar. Apa yang membuat suatu hal dapat disebut seni?  Kenapa sebuah lukisan kucing jelek  dihargai sebagai karya terkenal   Pablo Picasso? Ke

Belajar Bahasa Isyarat!

Nggak gaes, aku nggak belajar bahasa isyarat karena habis nonton Koe no Katachi.  Ehem. Jadi, Februari kemarin aku mengikuti sebuah workshop bahasa isyarat di Jogja. Workshop kecil-kecilan ini diadakan oleh sebuah komunitas di Jogja yang juga memiliki concern seputar isu disabilitas. Kebetulan aku punya minat buat belajar bahasa isyarat, soalnya menarik aja gitu. Rasanya keren kalau aku bisa membantu penyandang disabilitas tunarungu dengan mencoba belajar bahasa mereka. Teman tuli ⁠— begitu cara kita menyebut orang penyandang tunarungu ⁠— memakai bahasa isyarat sebagai pengganti komunikasi verbal biasa. Umumnya para penyandang tunarungu bisa saling berkomunikasi isyarat cepat dengan tunarungu lainnya, tapi mayoritas orang dengan pendengaran normal (disebut teman dengar) tidak fasih atau bahkan tak tahu bahasa isyarat sama sekali. Oleh karena itu, amat berharga bagi teman dengar untuk bisa bahasa isyarat karena bisa mempermudah teman tuli berkomunikasi. Workshop ini diba

Laskar Baru Itu Bernama Narawa

Aku sebenarnya mau nulis ini di blog waktu libur semester kemarin tapi jiwa-jiwa magerku tak bisa kompromi.  Desember 2019 kemarin, Mapala Geografi Gadjah Mada atau GEGAMA melaksanakan  Diklatsarnya yang ke-37 untuk menyeleksi anggota baru. Aku mendaftar UKM fakultas satu ini dari bulan Desember, dan saat itu posisiku sudah mendaftar MAPAGAMA. Yup, aku mendaftar di GEGAMA sebagai UKM kasur seandainya aku tak lolos atau tak kuat di mapala universitas. Aku bersama 18 mahasiswa dari jurusan lain menjadi peserta final diklatsar 37 GEGAMA. Narawa adalah nama angkatan kami, angkatan 2019 yang dibuat bersama saat dinamika kelompok yang jadi salah satu kegiatan wajib diklatsar. Aku sendiri tak ikut dinamika kelompok, tapi ini nama yang keren dan aku tak punya komplain apapun. Narawa adalah singkatan dari nama angkatan kami yang asli, "Navi Rasyid Arnawama Shanshiqi". Keren, eh? "Nama angkatan dari anggota Wiramuda Diklatsar XXXVII GEGAMA adalah “Navi Rasyid Arnawama S

Give me a break

Baiklah, baik. Ini sudah genap seminggu sejak diriku kembali ke penyakit lamaku: menjadi produk gagal. Sampai muak setan satu ini tak hilang-hilang dari kepalaku. Mengapa sekolah tak pernah mengajari kami tentang keahlian yang kritis dalam kehidupan ini--tentang memahami prioritas dalam hidup? Tak pernah ada mata pelajaran tentang hal-hal penting yang dibutuhkan agar tidak menjadi manusia gagal seperti ini di sekolah. Kami hanya diperintah oleh orang dewasa menjalani tahap-tahap pendidikan begitu saja dan diharapkan bisa keluar dari sana sebagai manusia dewasa yang sudah paham akan dirinya sendiri, tugasnya dalam hidup, dan orang lain. Lalu tiba-tiba kami terbangun, berada di dunia kerja, sebagai anak kecil yang terperangkap dalam kerangka orang dewasa. Mengucek-ucek mata, tertatih-tatih berdiri. Beberapa masih beruntung punya zona transisi yang disebut 'kuliah' dimana mereka bisa lebih mempersiapkan diri menjadi orang dewasa, namun beberapa tidak. Banyak yang harus lagi-

Info Trip Snorkeling ke Pahawang dan Pantai Mahitam

Aku baru teringat mau membagikan info trip ala backpacker saat  camp  satu malam di Pantai Maitam, Kabupaten Pesawaran Lampung kemarin, sekaligus juga snorkeling ke Pulau Pahawang. Dokumentasi Pribadi Saat libur kelulusan SMA tahun lalu, ketika aku masih sebegitu gabutnya dan penuh dengan waktu luang, aku mengajak dua sepupuku yang masih SMA untuk pergi  beachcamp  ke Pahawang. Awalnya kami berencana  beachcamp  ke Tanjung Belimbing yang berada dalam wilayah TNBBS, namun terkendala perizinan karena rupanya wilayah itu tidak dibuka untuk umum lagi. Sebelumnya, kami sudah memesan paket  open trip  snorkeling satu hari penuh lewat salah satu kontak tour guide lokal Pahawang. Paketnya seharga 180k sudah termasuk peralatan snorkel, makan siang, dan transport perahu seharian penuh.  Open-trip  sistemnya kita bergabung dengan wisatawan lain yang juga membeli paket  open-trip , beda dengan  closed-trip  dimana kita menyewa guide, peralatan dan perahu penuh untuk kita sendiri.  Closed-t

Resensi Buku If Only They Could Talk (Andai Mereka Bisa Bicara)

If Only They Could Talk adalah novel yang kuketahui lewat Laskar Pelangi, novel karya penulis favoritku Andrea Hirata. Aku mengenal buku karya James Herriot ini sebagai buku yang dihadiahkan A Ling ke Ikal dalam novelnya sebelum pergi ke Jakarta. Dikisahkan dalam Laskar Pelangi, dari novel Herriot inilah Ikal mengenal Edensor, sebuah desa di pedalaman Yorkshire, Inggris, yang nantinya akan menjadi memori pelipur laranya akan A Ling. Karena endorse yang begitu kuat dari Laskar Pelangi ini, aku pun akhirnya membeli buku ini di sh*pee tahun lalu. Berikut ialah resensi bukunya: Identitas Buku Source: Bukalapak Judul: If Only They Could Talk (Andai Mereka Bisa Bicara) Pengarang: James Herriot Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Penerjemah: Ny. Suwarni A.S. Tahun Terbit: 2016 (cetakan ketiga) Tebal halaman: 312 hlm Harga buku: 55.000 rupiah Sinopsis Buku Buku ini menceritakan tentang pengalaman hidup James Herriot sebagai dokter hewan di sebuah desa fiksi di Yorkshire, I

Cerita Pendakian: Muncak ke Gunung Pesagi ~Part 2

Sumber: dokumentasi pribadi Aku lagi semangat-semangatnya ngeblogging ntah kenapa, wkwkwk. Oke, Rin balik lagi melanjut cerita. Kemarin aku sudah nyeritain pejalanan kita mendaki sampe basecamp dua di dekat puncak. Disana kita bermalam di tenda dan besok paginya berangkat ke puncak. Di dekat puncak dingin banget begitu jam 2-3 pagi. Ketinggian Pesagi memang nggak seberapa dibandingkan gunung-gunung di Jawa, cuma 2200 mdpl, tapi ini sudah paling tinggi di Lampung. Sekitar jam-jam itu aku terbangun saking dinginnya suhu udara. Terus akhirnya nggak tidur, duduk di depan api unggun sampai pagi. Gini aja udah nggak kuat, gimana Semeru nanti coba. Paginya, kita bangun menyiapkan sarapan sebelum naik. Jam 10, aku Bersama Kiyay Riza dan Agus berangkat ke puncak, sementara Kiyay Bambang menemani ayahku turun duluan. Udah terlalu tua buat muncak kurasa, haha :)) Makin ke atas, kemiringan lerengnya jadi makin curam. Beberapa tempat bahkan perlu dipanjat dengan tangan. Terus sema

Cerita Bonggol Jagung

Kemarin aku pulang sejenak ke rumah nenekku di Kulonprogo sebelum memulai perkuliahanku besok senin. Kuhabiskan sepanjang minggu rebahan di kasur di rumah nenekku. Lalu, tadi sore aku diajak pakde ke ladangnya untuk memetik jagung manis. Mau buat jagung rebus, katanya. Rumah nenekku terletak di dekat kaki perbukitan Menoreh, di desa asri yang masih penuh sawah dan bukit yang dibiarkan ditumbuhi pohon lebat. Diajak mengunjungi ladang dikelilingi alam yang asri seperti itu benar-benar membuat damai hanya dengan menatapi pemandangan sepanjang perjalanan. Begitu sampai di ladang pakdeku dan berjalan ke tengahnya, aku terpana. Kebahagiaan dan perasaan tenang merasuki diriku begitu saja. Aku takjub akan kekuatan tumbuhan dan alam mempengaruhi jiwa manusia. Berjalan diantara rumput liar dan batang jagung, hanya memperhatikan detail warna dedaunan atau merasakan sensasi lembut tanah yang terinjak membuatku merasa seolah semua beban pikiranku hilang. Pijarpsikologi , dari sebuah hipotes