Langsung ke konten utama

My Love, My Darling, My Milky Way

Aku melihat milky way waktu berkunjung ke Liwa kemarin. 3 hari lalu aku baru balik dari liburan di Seminung dan Suoh. Sebuah daerah dataran tinggi di Lampung Barat yang geomorfologinya masih satu bagian dengan rangkaian pegunungan Bukit Barisan. 3 hari itu pula, aku berturut-turut melihat milky way di langit Lampung Barat. 

Milky way, taburan ratusan bintang dan awan debu yang menghiasi langit waktu malam. Objek angkasa ini adalah salah satu fenomena yang paling dicari orang karena kenampakannya yang aestetique. Agar bisa melihat awan inti milky way, alias Great Rift, perlu usaha sedikit ekstra karena doi hanya muncul di tempat yang minim polusi cahaya dan pada waktu serta cuaca yang tepat.

Waktu yang tepat untuk bisa melihat milky way di Indonesia ada di sekitar periode musim panas belahan bumi utara, atau istilahnya periode summer solstice. Bulan Maret hingga Agustus di wilayah ekuator adalah waktu-waktu terbaik buat menemukan milky way. Karena kita ada di wilayah ekuator, pengamatan kita tidak akan dibatasi sudut kemiringan bumi seperti di wilayah-wilayah lintang tinggi. Cukup berdiri di jam berapapun di manapun yang minim polusi cahaya, niscaya kamu bakal melihat inti milky way ada di titik zenith langit. Spot view paling disarankan, tentu saja puncak-puncak gunung kecintaan para pendaki. Uwuw. 

Melihatnya untuk pertama kali adalah pengalaman mengagumkan buat seorang mahasiswi yang selama 19 tahun hidupnya belum pernah melihat inti milky way secara langsung. It was just... magnificent. Walaupun Bima Sakti yang kulihat tak sebagus di foto-foto, lebih mirip gumpalan awan buram, dan mata minusku merusak keseluruhan sensasinya, tapi tetap saja---kamu tak akan bisa mengucapkan apapun selain kekaguman ketika dihadapkan dengan keindahan sebegitu rupa. 

Aku jatuh cinta, detik itu juga. Melihat bintang sebanyak itu bisa ada dalam sepetak kecil langit seperti kabut yang terang. Berapa banyak sih kamu pernah melihat bintang dalam satu waktu? Waktu itu, rasanya aku melihat jumlah bintang terbanyak dalam satu malam selama aku hidup. Aku ingin menyaksikannya lagi dan lagi. Permata langit. Mahkota malam. Harta karun angkasa. 

Merasa bosan hidup ketika semesta punya rahasia sebegini menakjubkan adalah hal yang tak bisa diterima.


~Mosaik Bintang


.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Komposisi Gambar Suasana Untuk Portofolio Seni: Studi Kasus Sketsa

Halo teman-teman! Kali ini aku mau berbagi sedikit ilmu membuat gambar suasana yang menarik lewat studi kasus kecil yang baru aku dapat kemarin. Gambar suasana adalah salah satu komponen wajib portofolio seni untuk mendaftar ke SNMPTN dan SBMPTN untuk jadi salah satu kriteria seleksi PTN. Mulai dari tahunku, SBMPTN bidang seni & olahraga cukup mewajibkan portofolio untuk dilampirkan bersama nilai tes tulis, berbeda dengan kebijakan SBMPTN tahun lalu yang mengharuskan peserta tes menggambar langsung di tempat ujian. Kemarin lusa, 24 Juni 2019, adalah hari terakhir pendaftaran SBMPTN untuk tahun ini. Salah satu temanku yang ingin masuk DKV waktu itu minta bantuanku untuk gambar suasana karena dia kena  artblock.  Iya, DKV itu juga pernah jadi impianku. Dulu aku rajin cari tips trik seputar porto, latihan gambar, bahkan UTBK pun aku murtad ke soshum karena berniat mau masuk FSRD itebeh. Tapi alhamdulillah takdir berkata lain dan aku malah dapat SNMPTN duluan ke Jogja. Da

Belajar Bahasa Isyarat!

Nggak gaes, aku nggak belajar bahasa isyarat karena habis nonton Koe no Katachi.  Ehem. Jadi, Februari kemarin aku mengikuti sebuah workshop bahasa isyarat di Jogja. Workshop kecil-kecilan ini diadakan oleh sebuah komunitas di Jogja yang juga memiliki concern seputar isu disabilitas. Kebetulan aku punya minat buat belajar bahasa isyarat, soalnya menarik aja gitu. Rasanya keren kalau aku bisa membantu penyandang disabilitas tunarungu dengan mencoba belajar bahasa mereka. Teman tuli ⁠— begitu cara kita menyebut orang penyandang tunarungu ⁠— memakai bahasa isyarat sebagai pengganti komunikasi verbal biasa. Umumnya para penyandang tunarungu bisa saling berkomunikasi isyarat cepat dengan tunarungu lainnya, tapi mayoritas orang dengan pendengaran normal (disebut teman dengar) tidak fasih atau bahkan tak tahu bahasa isyarat sama sekali. Oleh karena itu, amat berharga bagi teman dengar untuk bisa bahasa isyarat karena bisa mempermudah teman tuli berkomunikasi. Workshop ini diba

Resensi Buku If Only They Could Talk (Andai Mereka Bisa Bicara)

If Only They Could Talk adalah novel yang kuketahui lewat Laskar Pelangi, novel karya penulis favoritku Andrea Hirata. Aku mengenal buku karya James Herriot ini sebagai buku yang dihadiahkan A Ling ke Ikal dalam novelnya sebelum pergi ke Jakarta. Dikisahkan dalam Laskar Pelangi, dari novel Herriot inilah Ikal mengenal Edensor, sebuah desa di pedalaman Yorkshire, Inggris, yang nantinya akan menjadi memori pelipur laranya akan A Ling. Karena endorse yang begitu kuat dari Laskar Pelangi ini, aku pun akhirnya membeli buku ini di sh*pee tahun lalu. Berikut ialah resensi bukunya: Identitas Buku Source: Bukalapak Judul: If Only They Could Talk (Andai Mereka Bisa Bicara) Pengarang: James Herriot Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Penerjemah: Ny. Suwarni A.S. Tahun Terbit: 2016 (cetakan ketiga) Tebal halaman: 312 hlm Harga buku: 55.000 rupiah Sinopsis Buku Buku ini menceritakan tentang pengalaman hidup James Herriot sebagai dokter hewan di sebuah desa fiksi di Yorkshire, I