Nggak gaes, aku nggak belajar bahasa isyarat karena habis nonton Koe no Katachi.
Berkat workshop singkat itu, aku jadi sedikit tahu tentang dunia teman-teman tuli. Seperti apa rasanya bercakap lewat telinga tuli, bagaimana etika meminta perhatian teman tuli, bahkan searching vlogger-vlogger tunarungu sendiri di youtube. Selama sesi belajar kemarin kami tak dibolehkan bicara, hanya diperbolehkan memakai bahasa isyarat dengan terkadang diterjemahkan oleh moderator. Pusing-pusinglah kita saat ingin bertanya, "apa bahasa isyaratnya kemana?" ke pengajar saat moderator sedang tak ada. Rasanya seperti disuruh bertanya dengan bahasa swahili—kami nggak ngerti. Kalau sudah buntu, cara terakhir ya dengan mengetik apa yang mau kita tanyakan di HP lalu ditunjukkan ke pengajar.
Habis ikut workshop itu rasanya aku jadi pingin daftar UKM Peduli Difabel di univku tahun depan :p Selama ini aku tidak pernah peduli dengan kelompok disabilitas; tunarungu, tunadaksa, atau apapun itu sebutannya. Buatku mereka cuma sebuah data di media. Kayak, "Oh, orang seperti itu juga ada", tapi nggak pernah terpikir di benakku kalau mereka juga ada di kehidupan nyata. Ikut hal-hal seperti ini membuatku diingatkan kalau mereka ada di sekitar kita, dan kita memang harus ingat bahwa mereka ada sebagai bagian dari masyarakat.
Pada akhirnya, inklusivitas adalah hal yang harus ditingkatkan agar kita menjadi masyarakat yang lebih baik. Kelompok minoritas seperti masyarakat difabel seringkali terpinggirkan oleh para penentu kebijakan publik, dan saat ini tingkat keramahan difabel di Indonesia belum bisa dibilang baik. Salah satu cara kita untuk bisa merubahnya ialah dengan mulai peduli. Luangkan waktu untuk belajar hal-hal yang bisa membuat lingkungan sekitarmu lebih ramah difabel, dan membantu mereka bila dibutuhkan.
Ehem. Jadi, Februari kemarin aku
mengikuti sebuah workshop bahasa isyarat di Jogja. Workshop kecil-kecilan ini
diadakan oleh sebuah komunitas di Jogja yang juga memiliki concern seputar isu
disabilitas. Kebetulan aku punya minat buat belajar bahasa isyarat, soalnya menarik aja gitu. Rasanya keren
kalau aku bisa membantu penyandang disabilitas tunarungu dengan mencoba belajar bahasa mereka.
Teman tuli—begitu cara kita menyebut
orang penyandang tunarungu—memakai bahasa isyarat sebagai pengganti komunikasi
verbal biasa. Umumnya para penyandang tunarungu bisa saling berkomunikasi isyarat cepat
dengan tunarungu lainnya, tapi mayoritas orang dengan pendengaran normal
(disebut teman dengar) tidak fasih atau bahkan tak tahu bahasa isyarat sama
sekali. Oleh karena itu, amat berharga bagi teman dengar untuk bisa bahasa
isyarat karena bisa mempermudah teman tuli berkomunikasi.
Workshop ini dibagi jadi 2 sesi di minggu yang berbeda, tapi sayangnya aku cuma bisa ikut sekali. Pengajar kami juga seorang teman tuli yang sering jadi trainer bahasa isyarat di komunitas difabel lain (pengajarnya ganteng ges :))). Materi dasar yang pertama dipelajari adalah kosakata standar dalam belajar bahasa baru: isyarat alfabet, isyarat salam dan ekspresi-ekspresi sederhana, isyarat 5W1H, kemudian baru disusul nama hari, bulan, hingga benda-benda. Standar bahasa isyarat yang
digunakan di Indonesia sendiri pun rupanya ada 2, yang pertama SIBI (sistem Isyarat Bahasa Indonesia),
dan kedua BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia).
Sumber: klobility.id |
Sebagian besar (dan memang
umumnya) teman tuli menggunakan BISINDO sebagai standar bahasa isyarat mereka.
Ini karena BISINDO adalah bahasa berkembang secara alami dalam masyarakat tuli, sedangkan
SIBI itu ibarat bahasa-super-baku-yang-dibuat-sendiri-oleh-orang-non-tuli. Bayangkan bahasamu dibuat oleh orang yang bahkan tidak mengerti persepsi bahasamu. Karena tidak biasa berkomunikasi dengan verbal, penyandang
tunarungu sejak lahir akan mengembangkan konsep bahasa yang tidak terpaku sistem grammar normal. Jadi teman tuli akan bertanya dengan BISINDO, "kamu makan sudah?" sementara
SIBI akan memakai, "apakah kamu
sudah makan?". Untuk teman tuli, perbedaan struktur bahasa seperti ini
bisa membingungkan. Apalagi SIBI hanya diajari di sekolah/kalangan terpelajar dan tidak diajari ke tuli awam. Makanya pernah ada protes dari
komunitas tunarungu agar memakai BISINDO untuk bahasa ajar standar di SLB menggantikan SIBI (CNN, 2015).
Nah, ini satu fun fact tentang
bahasa isyarat. Jadi bahasa isyarat pun punya dialek atau kosakata khas
daerahnya masing-masing. Ini unik karena dialek bahasa isyarat memang tidak
punya pelafalan; gunung dalam bahasa isyarat Jakarta akan tetap disebut gunung
di Karo, bukan deleng. Namun, yang membedakan adalah gerakan isyaratnya.
Gerakan isyarat untuk 'becak' di Yogyakarta mungkin akan berbeda dengan gerakan
'becak' di Jakarta. Oleh karena alasan ini, umumnya mempelajari jenis bahasa
isyarat baru levelnya sama seperti mempelajari bahasa verbal baru. Ada Bahasa Isyarat Yogyakarta, Bahasa Isyarat Bali, dan sebagainya. Sehingga, teman tuli pun biasanya
akan sulit bercakap lancar dengan teman tuli lain apabila sudah berbeda daerah.
Dalam bahasa isyarat juga terdapat isyarat nama tempat (toponim) dan isyarat nama orang. Agar singkat, teman tuli tidak akan menyebut nama orang atau tempat dengan mengisyaratkan satu persatu alfabetnya, namun mereka akan membuat satu gerakan isyarat baru. Misalnya, UGM dapat disebut dengan mengisyaratkan huruf U, G, dan M, namun dapat juga menggunakan nama isyarat UGM, yaitu isyarat abjad U ditambah gerakan memutar dan menangkupkan kedua tangan di depan dada. Sedangkan nama isyarat UNY adalah abjad 'U' ditambah isyarat untuk Yogyakarta (huruf 'Y' satu tangan yang diputar-putar).
catatan sisa workshop kemarin. Nama isyarat Yogyakarta dan Jakarta. Nama isyarat Jakarta merujuk pada isyarat untuk menara Monas. |
Isyarat untuk provinsi Lampung adalah abjad 'L' dan digerakkan seperti membentuk belalai di hidung, merujuk kepada provinsi Lampung yang terkenal dengan gajah Sumateranya.
Sumber: pesona.travel.com |
Seru sih, seenggaknya sekarang aku
udah bisa menyebut nama sendiri pakai abjad isyarat. Sisanya udah lupa haha.
Berkat workshop singkat itu, aku jadi sedikit tahu tentang dunia teman-teman tuli. Seperti apa rasanya bercakap lewat telinga tuli, bagaimana etika meminta perhatian teman tuli, bahkan searching vlogger-vlogger tunarungu sendiri di youtube. Selama sesi belajar kemarin kami tak dibolehkan bicara, hanya diperbolehkan memakai bahasa isyarat dengan terkadang diterjemahkan oleh moderator. Pusing-pusinglah kita saat ingin bertanya, "apa bahasa isyaratnya kemana?" ke pengajar saat moderator sedang tak ada. Rasanya seperti disuruh bertanya dengan bahasa swahili—kami nggak ngerti. Kalau sudah buntu, cara terakhir ya dengan mengetik apa yang mau kita tanyakan di HP lalu ditunjukkan ke pengajar.
Habis ikut workshop itu rasanya aku jadi pingin daftar UKM Peduli Difabel di univku tahun depan :p Selama ini aku tidak pernah peduli dengan kelompok disabilitas; tunarungu, tunadaksa, atau apapun itu sebutannya. Buatku mereka cuma sebuah data di media. Kayak, "Oh, orang seperti itu juga ada", tapi nggak pernah terpikir di benakku kalau mereka juga ada di kehidupan nyata. Ikut hal-hal seperti ini membuatku diingatkan kalau mereka ada di sekitar kita, dan kita memang harus ingat bahwa mereka ada sebagai bagian dari masyarakat.
Pada akhirnya, inklusivitas adalah hal yang harus ditingkatkan agar kita menjadi masyarakat yang lebih baik. Kelompok minoritas seperti masyarakat difabel seringkali terpinggirkan oleh para penentu kebijakan publik, dan saat ini tingkat keramahan difabel di Indonesia belum bisa dibilang baik. Salah satu cara kita untuk bisa merubahnya ialah dengan mulai peduli. Luangkan waktu untuk belajar hal-hal yang bisa membuat lingkungan sekitarmu lebih ramah difabel, dan membantu mereka bila dibutuhkan.
After all, disability is not an inability.
Komentar
Posting Komentar