Aku sebenarnya mau nulis ini di blog waktu libur semester kemarin tapi jiwa-jiwa magerku tak bisa kompromi.
Desember 2019 kemarin, Mapala Geografi Gadjah Mada atau GEGAMA melaksanakan Diklatsarnya yang ke-37 untuk menyeleksi anggota baru. Aku mendaftar UKM fakultas satu ini dari bulan Desember, dan saat itu posisiku sudah mendaftar MAPAGAMA. Yup, aku mendaftar di GEGAMA sebagai UKM kasur seandainya aku tak lolos atau tak kuat di mapala universitas.
Aku bersama 18 mahasiswa dari jurusan lain menjadi peserta final diklatsar 37 GEGAMA. Narawa adalah nama angkatan kami, angkatan 2019 yang dibuat bersama saat dinamika kelompok yang jadi salah satu kegiatan wajib diklatsar. Aku sendiri tak ikut dinamika kelompok, tapi ini nama yang keren dan aku tak punya komplain apapun. Narawa adalah singkatan dari nama angkatan kami yang asli, "Navi Rasyid Arnawama Shanshiqi". Keren, eh?
"Nama angkatan dari anggota Wiramuda Diklatsar XXXVII GEGAMA adalah “Navi Rasyid Arnawama Shansiqi”, disingkat “NARAWA”, yang berarti penjelajah yang diberi petunjuk untuk menjelajahi samudera." (FGE/Isna), geo.ugm.ac.id
Delapan belas mahasiswa yang nyaris tak kelihatan seperti anak mapala ini adalah salah satu alasanku akhirnya tak ingin melepaskan GEGAMA. Mereka berisik, minim pengalaman, dan bukan pegiat alam sejak dini seperti para anggota baru MAPAGAMA. Kerjasama mereka sebagai satu angkatan pun baru dilatih sebulan. Namun, entah bagaimana mereka selalu mampu membuat semua angkatan Narawa bertahan hingga selesai diklatsar, termasuk aku yang akhirnya tak mau pergi.
Mereka adalah individu-individu unik yang tak menyerah dengan GEGAMA bahkan saat salah satu dari mereka muntah-muntah di atas tebing dan menangis ampun-ampunan sewaktu lapangan climbing. Aku hanya sedikit menemukan momen yang menunjukkan keegoisan para anggotanya—seolah kami semua punya konsensus tak terucapkan untuk peduli satu sama lain dan saling menyemangati. Saat diklatsar, aku menemukan bahwa diriku berkegiatan dengan perasaan yang lebih ringan bersama mereka dibanding MAPAGAMA.
Angkatan Diklatsar 37 "Narawa" |
Dari awal aku mengikuti Diklatsar GEGAMA ini memang setengah-setengah. Bayangkan, lapangan diklatsar di alam selama seminggu penuh, dan saat itu aku baru selesai diklatsar MAPAGAMA di Lawu. Satu-dua hari pertama diklatsar GEGAMA aku benar-benar menyesali keputusanku ikut. Padahal harusnya aku bisa istirahat di Jogja tapi lihat ini, aku malah merana seminggu. Sudah ekspektasiku terhadap UKM ini rendah, ditambah dengan tradisi Diklatsar yang membuatku ingin misuh-misuh. Senioritas, ya tuhan, sudah lama aku tidak mengecap kebiasaan primitif tak faedah peninggalan kolonial ini. Dibentak-bentak, diberi tekanan dan hukuman seri seenaknya. Ingin rasanya membanding-bandingkan dengan diklatsar mapala sebelah yang sudah berbasis pengajaran andragogik dan melatih skill manajemen berkegiatan anggotanya.
Lapangan Climbing, Samigaluh 27 Desember 2019 |
Seminggu di alam rasanya seperti berminggu-minggu. Makanan dan tempat istirahatnya memprihatinkan, lapangannya melelahkan, belum lagi ada penindasan dari panita, ingin mati saja rasanya. Hari-hari terakhir diklatsar terutama sangat mengerikan: lapangan gunung hutan di Merbabu. Longmarch yang menguji fisik para peserta diklatsar, dan lapangan survival yang intinya adalah puasa selama 24 jam. Kebetulan malam survival kami adalah malam tahun baru, 1 Januari. Kamu bisa bayangkan sendiri rasanya meringkuk kedinginan dan lapar dibawah bivak yang basah karena hujan, dan membayangkan orang dibawah sana berpesta jagung dengan hangat saat mendengar suara kembang api. Demi apapun aku nggak masalah puasa 2-3 hari penuh, tapi dingin Merbabu menyiksaku sampai bangun berkali-kali dari tidur karena kedinginan.
Tapi kawan, semua itu pun akhirnya berlalu dan malah menjadi kenangan menyenangkan di GEGAMA untuk kami ingat. Iya, aku mengakui perploncoan seperti ini adalah tradisi yang tidak boleh dihilangkan. Karena diklatsar tanpa bentak-bentak bukanlah diklatsar. Setelah dibawa ke 4 lokasi berbeda keliling Jateng dan DIY, kami pun dilantik pada tanggal 2 Januari di lereng Merbabu.
Perjalanan kami masih panjang, lika-liku terjal masih menanti di depan, tapi kami akan terus bergerak maju sampai batas kami tak mampu lagi.
Salam satu bumi!
love it!
BalasHapusim crying:( LOVE IT!
BalasHapusKrecex GGM 9.137....pada akhirnya ketika berhadapan dg dunia nyata, skill yg dilatihkan tidak mampu bicara banyak dihadapan pengalaman dan persaudaraan. Kekancan sak lawase pasesuluran sak modare
BalasHapusMotivasimu apa?
BalasHapusWii, mantaplaa
BalasHapus