Langsung ke konten utama

Hidup Itu Nggak Tertebak

Bulan Agustus ini aku bakal jadi maba di Universitas Gajah Mada. Baru kemarin aku dapat agenda dan daftar penugasan buat PPSMB, alias ospek-nya UGM. Daftar tugasnya banyak juga buat kegiatan pembuka kuliah. Mulai dari menghafal himne UGM, menulis opini tentang PPSMB, menyanyikan lagu khas daerah asal, sampai merancang kegiatan implementasi bela negara! Dan jangan lupa setumpuk kuis yang harus dijawab, semuanya harus ditulis tangan di kertas folio.

Terus, masih ada tugas-tugas dari PPSMB fakultas. Jadi ospek di UGM itu terdiri dari ospek (atau PPSMB) universitas serta ospek fakultas. Berhubung fakultasku Geografi, tugas-tugasku isinya menulis esai soal Sustainable Development Goals sampai bikin poster mengenai pembangunan Indonesia yang berkelanjutan. Waw, aku bersemangat sekali. Semua itu, ditambah fakta kalau aku bakal ikut PPSMB UGM dan jadi bagian dari civitas akademika UGM yang itu.

Empat bulan yang lalu, aku nggak pernah kepikiran kalau aku bakal masuk sana.

Waktu sebelum pengumuman SNMPTN itu, opsi yang kupikirin cuma dua: mengincar FSRD ITB, atau ikut tes sekolah kedinasan STIN. Aku bakal ikut SBMPTN dengan 100% niatan murtad ke Soshum--Bahkan, aku awalnya berniat ngambil FSRD buat SNMPTN, tapi ganti karena pas pemilihan univ disuruh ambil pilihan tertinggi dulu. Terus Maret pengumuman SNMPTN, taunya aku keterima duluan di UGM.


Padahal aku nggak terlalu bermimpi untuk pergi ke UGM. Padahal aku udah sekitar tiga-empat kali main ke ITB buat lomba dan pelatnas selama sebulan sampai rasa-rasanya Bandung dan itu kampus udah terasa akrab banget buatku, aku merasa ITB's the one. Eh ternyata, yang udah akrab dan nyaman pun belum tentu ditakdirkan jadi jodoh. /uhuk

Tapi bukan berarti aku nggak puas. Tentu ada alasannya aku milih UGM bukannya ITB di pilihan 1 dan 2 SNM. Senang? iya pasti. Senang banget? Aku nggak tahu. Waktu hari pengumuman itu, aku malah ngerasa nggak senang. Beban nama UGM yang gede itu udah cukup bikin aku kehilangan euforia dapet PTN. Ditambah berita kalau teman-temanku yang nilainya jauh lebih baik dan pantas dariku untuk dapet SNM, nggak lolos SNM. Padahal univ incaran mereka grade-nya termasuk dibawahku yang milih UGM. Aku ngerasa nggak pantas buat dapet univ setaraf itu dan malah nge-down habis pengumuman.

Dan akhirnya, sekarang aku masih mengurusi tetek-bengek persiapan coolyeah sambil ikut menunggui berita dari wankawanku, kemana mereka melanjutkan belajar, dan kira-kira siapa yang bakal menemaniku di Kampus Kerakyatan nanti. Semua masih rahasia tuhan. Yang bisa kita lakukan cuma berusaha sebaik mungkin dan berdoa ke yang diatas, karena sungguh, yang memegang rahasia takdir kita itu cuma tangan-Nya. 

Kedepannya, siapa tahu juga aku bakal jadi penerima beasiswa S2 ke Jepang atau kerja di lembaga konservasi lingkungan di luar negeri, Aamiinn. Kata orang, tulis impianmu biar makin termotivasi dan jadi kenyataan. Semoga itu bener, dan beberapa tahun kedepan aku bisa membuka blog ini sambil tersenyum keinget jejak impian lamaku yang sekarang udah jadi kenyataan. Duh. Semoga :")

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Komposisi Gambar Suasana Untuk Portofolio Seni: Studi Kasus Sketsa

Halo teman-teman! Kali ini aku mau berbagi sedikit ilmu membuat gambar suasana yang menarik lewat studi kasus kecil yang baru aku dapat kemarin. Gambar suasana adalah salah satu komponen wajib portofolio seni untuk mendaftar ke SNMPTN dan SBMPTN untuk jadi salah satu kriteria seleksi PTN. Mulai dari tahunku, SBMPTN bidang seni & olahraga cukup mewajibkan portofolio untuk dilampirkan bersama nilai tes tulis, berbeda dengan kebijakan SBMPTN tahun lalu yang mengharuskan peserta tes menggambar langsung di tempat ujian. Kemarin lusa, 24 Juni 2019, adalah hari terakhir pendaftaran SBMPTN untuk tahun ini. Salah satu temanku yang ingin masuk DKV waktu itu minta bantuanku untuk gambar suasana karena dia kena  artblock.  Iya, DKV itu juga pernah jadi impianku. Dulu aku rajin cari tips trik seputar porto, latihan gambar, bahkan UTBK pun aku murtad ke soshum karena berniat mau masuk FSRD itebeh. Tapi alhamdulillah takdir berkata lain dan aku malah dapat SNMPTN duluan ke Jogja. Da

Belajar Bahasa Isyarat!

Nggak gaes, aku nggak belajar bahasa isyarat karena habis nonton Koe no Katachi.  Ehem. Jadi, Februari kemarin aku mengikuti sebuah workshop bahasa isyarat di Jogja. Workshop kecil-kecilan ini diadakan oleh sebuah komunitas di Jogja yang juga memiliki concern seputar isu disabilitas. Kebetulan aku punya minat buat belajar bahasa isyarat, soalnya menarik aja gitu. Rasanya keren kalau aku bisa membantu penyandang disabilitas tunarungu dengan mencoba belajar bahasa mereka. Teman tuli ⁠— begitu cara kita menyebut orang penyandang tunarungu ⁠— memakai bahasa isyarat sebagai pengganti komunikasi verbal biasa. Umumnya para penyandang tunarungu bisa saling berkomunikasi isyarat cepat dengan tunarungu lainnya, tapi mayoritas orang dengan pendengaran normal (disebut teman dengar) tidak fasih atau bahkan tak tahu bahasa isyarat sama sekali. Oleh karena itu, amat berharga bagi teman dengar untuk bisa bahasa isyarat karena bisa mempermudah teman tuli berkomunikasi. Workshop ini diba

Resensi Buku If Only They Could Talk (Andai Mereka Bisa Bicara)

If Only They Could Talk adalah novel yang kuketahui lewat Laskar Pelangi, novel karya penulis favoritku Andrea Hirata. Aku mengenal buku karya James Herriot ini sebagai buku yang dihadiahkan A Ling ke Ikal dalam novelnya sebelum pergi ke Jakarta. Dikisahkan dalam Laskar Pelangi, dari novel Herriot inilah Ikal mengenal Edensor, sebuah desa di pedalaman Yorkshire, Inggris, yang nantinya akan menjadi memori pelipur laranya akan A Ling. Karena endorse yang begitu kuat dari Laskar Pelangi ini, aku pun akhirnya membeli buku ini di sh*pee tahun lalu. Berikut ialah resensi bukunya: Identitas Buku Source: Bukalapak Judul: If Only They Could Talk (Andai Mereka Bisa Bicara) Pengarang: James Herriot Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Penerjemah: Ny. Suwarni A.S. Tahun Terbit: 2016 (cetakan ketiga) Tebal halaman: 312 hlm Harga buku: 55.000 rupiah Sinopsis Buku Buku ini menceritakan tentang pengalaman hidup James Herriot sebagai dokter hewan di sebuah desa fiksi di Yorkshire, I