Langsung ke konten utama

Belajar Bahasa Isyarat!

Nggak gaes, aku nggak belajar bahasa isyarat karena habis nonton Koe no Katachi. 


Ehem. Jadi, Februari kemarin aku mengikuti sebuah workshop bahasa isyarat di Jogja. Workshop kecil-kecilan ini diadakan oleh sebuah komunitas di Jogja yang juga memiliki concern seputar isu disabilitas. Kebetulan aku punya minat buat belajar bahasa isyarat, soalnya menarik aja gitu. Rasanya keren kalau aku bisa membantu penyandang disabilitas tunarungu dengan mencoba belajar bahasa mereka.

Teman tuli⁠—begitu cara kita menyebut orang penyandang tunarungu⁠—memakai bahasa isyarat sebagai pengganti komunikasi verbal biasa. Umumnya para penyandang tunarungu bisa saling berkomunikasi isyarat cepat dengan tunarungu lainnya, tapi mayoritas orang dengan pendengaran normal (disebut teman dengar) tidak fasih atau bahkan tak tahu bahasa isyarat sama sekali. Oleh karena itu, amat berharga bagi teman dengar untuk bisa bahasa isyarat karena bisa mempermudah teman tuli berkomunikasi.

Workshop ini dibagi jadi 2 sesi di minggu yang berbeda, tapi sayangnya aku cuma bisa ikut sekali. Pengajar kami juga seorang teman tuli yang sering jadi trainer bahasa isyarat di komunitas difabel lain (pengajarnya ganteng ges :))). Materi dasar yang pertama dipelajari adalah kosakata standar dalam belajar bahasa baru: isyarat alfabet, isyarat salam dan ekspresi-ekspresi sederhana, isyarat 5W1H, kemudian baru disusul nama hari, bulan, hingga benda-benda. Standar bahasa isyarat yang digunakan di Indonesia sendiri pun rupanya ada 2, yang pertama SIBI (sistem Isyarat Bahasa Indonesia), dan kedua BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia).

Sumber: klobility.id

Sebagian besar (dan memang umumnya) teman tuli menggunakan BISINDO sebagai standar bahasa isyarat mereka. Ini karena BISINDO adalah bahasa berkembang secara alami dalam masyarakat tuli, sedangkan SIBI itu ibarat bahasa-super-baku-yang-dibuat-sendiri-oleh-orang-non-tuli. Bayangkan bahasamu dibuat oleh orang yang bahkan tidak mengerti persepsi bahasamu. Karena tidak biasa berkomunikasi dengan verbal, penyandang tunarungu sejak lahir akan mengembangkan konsep bahasa yang tidak terpaku sistem grammar normal. Jadi teman tuli akan bertanya dengan BISINDO, "kamu makan sudah?" sementara SIBI akan memakai, "apakah kamu sudah makan?". Untuk teman tuli, perbedaan struktur bahasa seperti ini bisa membingungkan. Apalagi SIBI hanya diajari di sekolah/kalangan terpelajar dan tidak diajari ke tuli awam. Makanya pernah ada protes dari komunitas tunarungu agar memakai BISINDO untuk bahasa ajar standar di SLB menggantikan SIBI (CNN, 2015).

Nah, ini satu fun fact tentang bahasa isyarat. Jadi bahasa isyarat pun punya dialek atau kosakata khas daerahnya masing-masing. Ini unik karena dialek bahasa isyarat memang tidak punya pelafalan; gunung dalam bahasa isyarat Jakarta akan tetap disebut gunung di Karo, bukan deleng. Namun, yang membedakan adalah gerakan isyaratnya. Gerakan isyarat untuk 'becak' di Yogyakarta mungkin akan berbeda dengan gerakan 'becak' di Jakarta. Oleh karena alasan ini, umumnya mempelajari jenis bahasa isyarat baru levelnya sama seperti mempelajari bahasa verbal baru. Ada Bahasa Isyarat Yogyakarta, Bahasa Isyarat Bali, dan sebagainya. Sehingga, teman tuli pun biasanya akan sulit bercakap lancar dengan teman tuli lain apabila sudah berbeda daerah. 

Dalam bahasa isyarat juga terdapat isyarat nama tempat (toponim) dan isyarat nama orang. Agar singkat, teman tuli tidak akan menyebut nama orang atau tempat dengan mengisyaratkan satu persatu alfabetnya, namun mereka akan membuat satu gerakan isyarat baru. Misalnya, UGM dapat disebut dengan mengisyaratkan huruf U, G, dan M, namun dapat juga menggunakan nama isyarat UGM, yaitu isyarat abjad U ditambah gerakan memutar dan menangkupkan kedua tangan di depan dada. Sedangkan nama isyarat UNY adalah abjad 'U' ditambah isyarat untuk Yogyakarta (huruf 'Y' satu tangan yang diputar-putar).

catatan sisa workshop kemarin. Nama isyarat Yogyakarta dan Jakarta.
Nama isyarat Jakarta merujuk pada isyarat untuk menara Monas.

Isyarat untuk provinsi Lampung adalah abjad 'L' dan digerakkan seperti membentuk belalai di hidung, merujuk kepada provinsi Lampung yang terkenal dengan gajah Sumateranya.

Sumber: pesona.travel.com
Seru sih, seenggaknya sekarang aku udah bisa menyebut nama sendiri pakai abjad isyarat. Sisanya udah lupa haha.

Berkat workshop singkat itu, aku jadi sedikit tahu tentang dunia teman-teman tuli. Seperti apa rasanya bercakap lewat telinga tuli, bagaimana etika meminta perhatian teman tuli, bahkan searching vlogger-vlogger tunarungu sendiri di youtube. Selama sesi belajar kemarin kami tak dibolehkan bicara, hanya diperbolehkan memakai bahasa isyarat dengan terkadang diterjemahkan oleh moderator. Pusing-pusinglah kita saat ingin bertanya, "apa bahasa isyaratnya kemana?" ke pengajar saat moderator sedang tak ada. Rasanya seperti disuruh bertanya dengan bahasa swahilikami nggak ngerti. Kalau sudah buntu, cara terakhir ya dengan mengetik apa yang mau kita tanyakan di HP lalu ditunjukkan ke pengajar.

Habis ikut workshop itu rasanya aku jadi pingin daftar UKM Peduli Difabel di univku tahun depan :p Selama ini aku tidak pernah peduli dengan kelompok disabilitas; tunarungu, tunadaksa, atau apapun itu sebutannya. Buatku mereka cuma sebuah data di media. Kayak, "Oh, orang seperti itu juga ada", tapi nggak pernah terpikir di benakku kalau mereka juga ada di kehidupan nyata. Ikut hal-hal seperti ini membuatku diingatkan kalau mereka ada di sekitar kita, dan kita memang harus ingat bahwa mereka ada sebagai bagian dari masyarakat. 

Pada akhirnya, inklusivitas adalah hal yang harus ditingkatkan agar kita menjadi masyarakat yang lebih baik. Kelompok minoritas seperti masyarakat difabel seringkali terpinggirkan oleh para penentu kebijakan publik, dan saat ini tingkat keramahan difabel di Indonesia belum bisa dibilang baik. Salah satu cara kita untuk bisa merubahnya ialah dengan mulai peduli. Luangkan waktu untuk belajar hal-hal yang bisa membuat lingkungan sekitarmu lebih ramah difabel, dan membantu mereka bila dibutuhkan.


After all, disability is not an inability.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Komposisi Gambar Suasana Untuk Portofolio Seni: Studi Kasus Sketsa

Halo teman-teman! Kali ini aku mau berbagi sedikit ilmu membuat gambar suasana yang menarik lewat studi kasus kecil yang baru aku dapat kemarin. Gambar suasana adalah salah satu komponen wajib portofolio seni untuk mendaftar ke SNMPTN dan SBMPTN untuk jadi salah satu kriteria seleksi PTN. Mulai dari tahunku, SBMPTN bidang seni & olahraga cukup mewajibkan portofolio untuk dilampirkan bersama nilai tes tulis, berbeda dengan kebijakan SBMPTN tahun lalu yang mengharuskan peserta tes menggambar langsung di tempat ujian. Kemarin lusa, 24 Juni 2019, adalah hari terakhir pendaftaran SBMPTN untuk tahun ini. Salah satu temanku yang ingin masuk DKV waktu itu minta bantuanku untuk gambar suasana karena dia kena  artblock.  Iya, DKV itu juga pernah jadi impianku. Dulu aku rajin cari tips trik seputar porto, latihan gambar, bahkan UTBK pun aku murtad ke soshum karena berniat mau masuk FSRD itebeh. Tapi alhamdulillah takdir berkata lain dan aku malah dapat SNMPTN duluan ke Jogja. Da

Resensi Buku If Only They Could Talk (Andai Mereka Bisa Bicara)

If Only They Could Talk adalah novel yang kuketahui lewat Laskar Pelangi, novel karya penulis favoritku Andrea Hirata. Aku mengenal buku karya James Herriot ini sebagai buku yang dihadiahkan A Ling ke Ikal dalam novelnya sebelum pergi ke Jakarta. Dikisahkan dalam Laskar Pelangi, dari novel Herriot inilah Ikal mengenal Edensor, sebuah desa di pedalaman Yorkshire, Inggris, yang nantinya akan menjadi memori pelipur laranya akan A Ling. Karena endorse yang begitu kuat dari Laskar Pelangi ini, aku pun akhirnya membeli buku ini di sh*pee tahun lalu. Berikut ialah resensi bukunya: Identitas Buku Source: Bukalapak Judul: If Only They Could Talk (Andai Mereka Bisa Bicara) Pengarang: James Herriot Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Penerjemah: Ny. Suwarni A.S. Tahun Terbit: 2016 (cetakan ketiga) Tebal halaman: 312 hlm Harga buku: 55.000 rupiah Sinopsis Buku Buku ini menceritakan tentang pengalaman hidup James Herriot sebagai dokter hewan di sebuah desa fiksi di Yorkshire, I